Cerita The Jakmania, Suporter Kreatif yang Kini Dimusuhi

Salah satu oknum The Jakmania diamankan oleh polisi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anry Dhanniary

VIVA.co.id – Insiden bentrokan The Jakmania, sebutan untuk suporter Persija Jakarta, dengan aparat kepolisian pada 24 Juni 2016 lalu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menyedot perhatian publik. The Jak menjadi pihak yang disalahkan banyak orang karena kasus itu.

Berdiri sejak Liga Indonesia IV atau tepatnya 19 Desember 1997, The Jakmania dikenal kelompok suporter kreatif nan loyal, bahkan berhasil menyabet status suporter terbaik pada musim 2004-05 dan 2007-08.

Namun, kini nama The Jakmania lebih identik dengan keributan yang berujung tawuran. Berkali-kali insiden terjadi, dan terakhir sampai menghentikan laga Torabika Soccer Championship (TSC) kontra Sriwijaya FC lalu.

Kasus di SUGBK tersebut seolah menjadi ledakan puncak dari beberapa masalah yang dihadapi Jakmania dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan. Ketua Umum Jakmania, Richard Achmad Supriyanto menjadi sibuk kepada VIVA.co.id, tak memungkiri pekerjaan rumah paling besar bagi Pengurus Pusat (PP) ialah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik.

Dia mengaku, apa yang telah dibangun PP selama ini seolah hancur tak bersisa. Segala upaya pendekatan kepada pihak-pihak terkait, termasuk aparat keamanan mesti kembali dibangun dari titik nol. Richard bertemu dengan VIVA.co.id, seusai melakukan audiensi dengan Direktur PT Gelora Trisula Semesta (GTS), Joko Driyono.

Anda bertemu dengan Joko Driyono, apa saja yang dibicarakan?

Poinnya masih soal kasus kemarin. Kita sih menanyakan hukuman buat kita. Karena kalau dilihat itu berat bagi kita, tetapi kita tetap komit untuk melaksanakan ketentuan yang sudah diputuskan.

Persija nantinya akan berkandang di Solo. Bagaimana nanti PP Jakmania melakukan pengkoordiniran?

Kita tidak dalam kapasitas mengkoordinir. Tadi sudah kita bahas dengan Pak Joko, karena bunyi dalam surat keputusan, kalau bahasanya dikoordinir, sama saja itu bentuknya Jakmania. Kita tak melakukan apa-apa yang sifatnya koordinir.

Kita sih sekarang sedang berupaya bersama klub supaya mengajukan banding, dan materinya akan disusun bersama-sama. Tinggal nanti komisi banding menyikapi apa masih diperkenankan banding atau tidak.

Cobaan PP sejauh ini amat banyak. Dalam kasus final turnamen Piala Presiden dan Piala Bhayangkara misalnya, PP Jakmania juga harus bertanggung jawab yang sebenarnya bukan urusannya?

Sebenarnya bukan itu yang jadi masalah besar. PR yang sebenarnya besar adalah ketika kompetisi berhenti. Bagaimana kita harus menenangkan situasi. Lalu muncullah turnamen-turnamen, dan itu menjadi hantaman luar biasa, seperti di Piala Presiden, kita kena imbasnya (Sekum Jakmania mesti ditahan polisi karena dianggap melakukan provokasi di sosial media).

Kalau ditanya sekuat mana sih teman-teman pengurus era sekarang. Kita tak bisa jawab satu persatu. Ya sudah kita jalani saja sampai selesai amanat itu diberikan. Tapi, tugas kita akan kita selesaikanlah dengan baik.

Dan puncaknya dengan adanya insiden 24 Juni?

Ya insiden terakhir ini cukup beratlah, artinya proses kita membangun dari nol, dan pelan-pelan hubungan dengan pihak-pihak terkait agar bisa lebih baik istilahnya jadi hilang. Dan dahsyatnya netizen ini luar biasa, pokoknya kita melakukan apa pun saat ini ya salah. PR kita sekarang yang paling utama mengembalikan kepercayaan masyarakat, dan itu yang sedang kita coba komunikasi pelan-pelan terutama dengan pihak keamanan.

Krisna Murti Sudah Tangani Kasus Tewasnya Jakmania
***

Sebelum insiden 24 Juni terjadi, sebenarnya kan sudah bisa dibaca bagaimana Jakmania masih penasaran dengan kasus meninggalnya Fahreza. Apa tidak ada komunikasi terkait hal itu?

Kalau secara internal mereka (kepolisian) sudah dibaca, termasuk terakhir lawan PS TNI. Itu pun kita sudah dipanggil untuk evaluasi. Dari GTS waktu itu Tisha (Direktur Kompetisi dan Regulasi) juga ikut hadir. Itu sudah dibaca oleh pihak Polda Metro melalui Intelkam. 

Jadi perkembangannya yang sangat tidak bersahabat sudah dikaji. Makanya pertandingan lawan Sriwijaya itu memang sesuai SOP-nya mereka. Protapnya, langkah-langkahnya, dan kita menyarankan dan menyampaikan kepada Jakmania juga sudah. Tetapi kan memang tidak ada yang menduga akan ada kejadian seperti itu.

Sejauh ini, kasus meninggalnya Fahreza versi kepolisian dan teman-teman Jakmania berbeda. Apa tidak ada lagi kelanjutan penyelesaiannya?

Prosesnya sudah, kan sehabis (kejadian) itu kita ketemu Kabareskrim, dan kita menyampaikan semuanya. Dan sudah sesuai permintaan Kapolri juga agar Kapolda menindaklanjuti kasus itu. Dan itu memang ditindaklanjuti oleh kepolisian, kalau tidak salah ditangani oleh tim khusus. Dan kita sudah ketemu dengan jajaran Krisna Murti, dan itu sudah diproses.

Meski begitu, hingga saat ini sebab meninggalnya Fahreza versi kepolisian dan Jakmania berbeda?

Kita sudah sampaikan ke pejabat Polda. Kalau memang fakta hukumnya tidak ditemukan, memang baiknya kita preskon bersama antara keluarga almarhum, kepolisian, dan kita (Jakmania). Karena itu yang terbaik. Kalau tidak begitu, kita kan tidak tahu isi kepala orang, apalagi kalau sekarang era teknologi, sosmed itu seperti jadi panutan. 

Makanya sampai kita ketemu dengan Komisi III itu supaya ini cepat diselesaikan. Ini kan prosesnya tersendat-sendat sampai kita ngomong ke Komisi I. Mereka tanya ada kronologinya tidak, biar bisa dibahas. Cuma kan yang kejadian 24  Juni itu semuanya jadi tertutup. Orang menghakimi kita karena (kericuhan) itu dan kasus Fahreza akhirnya menghilang.

Dalam kasus meninggalnya Fahreza, apakah manajemen Persija ikut membantu penyelesaian? 

Kalau itu saya tidak tahu, kita secara organisasi coba berkomunikasi karena kasus ini jga direspons oleh Komisi III (DPR RI), ketemu sama DPD, dan LBH kita jalin komunikasi. Tapi semuanya kembali lagi ke pihak keluarga, mau sejauh mana. 

Terkait soal Persija apa ikut menyelesaikan kasus ini ya kita tidak tahu. Kita juga mempertanyakan GTS sebagai operator kenapa tidak merespons, terus kenapa saat itu tidak menyampaikan belasungkawa. Ke kita jelas tidak, tetapi kita tidak tahu apa ke Persija atau keluarga korban menyampaikan.

Sulitnya Tangani Rojali
***

Kadang ada yang menganggap urusan Jakmania bukan urusan Persija. Jadi ada anggapan suporter ini tidak termasuk football family?

Ya itulah yang kadang-kadang secara batiniah saya jadi miris. Kalau ada kejadian dibilang 'itu kan Jakmania'. Tetapi namanya hidup di kota besar, kondisi apa pun harus kita jalanin termasuk ada anggapan begitu ya. Karena menurut kita kulturnya Jakarta juga berbeda dengan kulturnya kota lain. Memang di Jakarta kejadian apapun bisa menjadi polemik besar.

Kasus meninggalnya Fahreza yang masih beda versi membuat kepercayaan Jakmania kepada kepolisian hilang. Untuk mencegahnya bagaimana?

Kita lakukan pertemuan dengan Polda, kita masing-masing introspeksi, kita juga mengajak teman-teman admin sosmed untuk dipantau supaya tidak kebablasan. 

Setelah insiden 24 Juni, gantian Jakmania yang menjadi sepert musuh utama pihak kepolisian. Berbagai teror terjadi, seperti di Cempaka Putih dan jalan Minangkabau. Bagaimana Anda menyikapi hal itu?

Karena kejadian 24 Juni itu saja saya sudah drop. Ditambah dengar lagi kejadian di Cempaka Putih, Utan Kayu, dan Minangkabau, wah itu shock-nya benar-benar lahir batin. Nah itu kan efek kejadian membuat masing-masing media berasumsi. 

Akhirnya menjadikan itu kabar tidak beraturan. Makanya supaya tidak meluas, kita langsung komunikasi dengan Polda Metro. Karena ilmu untuk menangani itu kan yang punya mereka, kita tidak punya.

Kasus bentrokan di SUGBK terjadi beberapa kali. Menurut Anda apa yang salah?

Kalau boleh meminjam bahasa Pak Joko, itu semua kembali ke manajemen sistem pertandingan. Artinya di dalamnya ada panpel, dan official security. Nah sistem itu seperti apa kita tidak tahu. Yang mesti dipertanyakan hal itu.

Soal kebocoran tiket pertandingan tak bisa dipungkiri. Masalah ini kenapa sulit dihentikan?

Soal adanya tiket bocor sebenarnya juga sudah kita sampaikan langsung ke Kapolda supaya jangan sampai ada miss. Nah, kadang-kadang yang di lapangan yang tidak mengerjakan perintah (Kapolda) itu.

Kalau kita berkaca ke pertandingan timnas atau terakhir Gamba Osaka ketemu Persija biasanya semuanya rapih. Karena di situ ada EO (Event Organizer) yang menjalankan, dan mereka punya pengalaman soal official security system. Nah patokannya itu, kalau panpel-nya bisa begitu di-back up pihak keamanan, maka akan clear masalahnya. Menurut saya aliran iramanya di situ.

Jakmania punya Korlap-korlap. Apakah Panpel tidak pernah mengajak mereka untuk ikut membantu menertibkan teman-teman?

Korlap itu gunanya untuk membantu internal kita, tidak dalam kapasitas bantuan panpel. Tetapi dalam prakteknya aparat keamanan yang biasanya meminta ke kita. Itu pun tidak bisa kita penuhi semua. Sebaiknya evaluasi official system security-nya sejauh mana kinerjanya. Ini kan yang berhubungan dengan pihak keamanan dan panpel, tentu ada SOP-nya dari GTS dong.

Kita juga menyampaikan ke teman-teman korwil. tolong rombongan-rombongan yang tidak jelas keberadaannya untuk diakomodir, dalam artian dikasih arahan, diajak jadi member. Ini lho cara menonton persija yang baik. Itu sudah kita sampaikan, dan bukan baru kali ini. Sudah dari ketua umum sebelum-sebelumnya sudah dilakukan.

Seberapa kompleks menghadapi teman-teman yang disebut Rojali (rombongan Jakmania liar)?

Sebenarnya kompleks ya. Saya nemuin langsung, dan benar, mereka dari mana pun bisa datang dengan menyewa mobil tetapi mereka datang tidak memegang tiket. Ukurannya bisa macam-macam tuh, dan mungkin motifnya juga macam-macam. 

Usianya ada yang umur belasan, dua puluhan atau tiga puluhan itu ada. Ruang lingkupnya Senayan ini kan luas, pintu masuknya juga banyak, jadi orang datang dari mana pun termasuk dari luar Jabodetabek. Dan yang lain lagi, pintu masuk Senayan banyak, jadi sulit untuk menutup aksesnya.

Ke depan apa yang akan Anda dan PP Jakmania lakukan?

Yang pasti konsolidasi itu penting ya. Kita harus verifikasi lagi korwil-korwil. Kita juga minta ke teman-teman korwil untuk mendata ulang angota-anggotanya. Jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan lagi di kemudian hari. Kalau ini anggota tak bisa diatur ya sudah tidak usah. 

Sekarang kita tidak mencari banyaknya anggota, tetapi kualitasnya. Selain itu kita akan melakukan upaya komunikasi dengan pihak keamanan, artinya ya nanti kita buat pelatihan hukum secara internal, soal materinya UU ITE. Sekarang pihak keamanan sedang memfokuskan soal itu juga. Ada juga agenda-agenda yang harus beriringan dengan pihak kepolisian.

DKI Jakarta Kritisi The Jakmania
***

Anda termasuk aktif membangun komunikasi dengan Pemprov DKI Jakarta. Selama ini fokusnya lebih kemana?

Kemarin itu kita sedang mencoba secara bertahap. Pertama bagaimana caranya Persija masih bisa main di Jakarta, tanpa ada gangguan. Kemudian kita mendorong soal pembangunan stadion. Cuma masalahnya kan tanah yang akan jadi stadion itu masih bermasalah. 

Nah, yang disayangkan kita, komunikasi ini pimpinan Jakarta tidak komunikatif, termasuk juga manajemen Persija. Kan selama ini kita yang menjembatani. Kita kirim surat ke mensesneg terkait pertandingan selama bulan ramadhan di SUGBK itu kita yang kirim surat. Itu kan sebenarnya bukan pekerjaan kita, tapi karena kita ingin klub tidak keluar dari jakarta ya maka kita lakukan. 

Baru itu lho ya, kita juga punya proyeksi jangka panjang, seperti kapan Pemprov mau membangun staidon, kapan mau bangunin base camp dan tempat latihan persija. Kita masih ingin bangun feeling dan kebatinan Pemprov.

Pimpinan Jakarta kerap bersuara keras terhadap Jakmania. Tanggapan Anda?

Soal kasus almarhum Fahreza kita pernah sampaikan ke Pemprov, kenapa tidak menyampaikan statement ketika itu, tetapi mereka mau hati-hati. Secara tanda kutip hati-hatinya itu kita paham.

Tetapi ketika soal 24 Juni, kenapa Pak Gubernur langsung bicara kencang. Berbeda kalau di daerah, itu eksekutif dan yudikatifnya seirama dengan tim bolanya, tetapi kalau di jakarta ya say hello goodbye saja. 

Justru kita yang mencoba merajut satu demi satu. Jakarta itu pusat Ibu Kota, banyak perusahaan besar, kenapa urusan persija agak susah? Tetapi di daerah mudah saja, karena pimpinannya all out. 

Di Jakarta yang kotanya urban jadinya lo-lo gue-gue. Kita bicara ke belakang, ya cuma eranya Bang Yos saja yang berpihak ke klub bola, setelah itu tak ada lagi.

 

(ren)