Bolehkah Seorang Pejabat Negara Membuat Pernyataan Seksis dan Anti Feminis?

Ilustrasi Pejabat Negara
Sumber :
  • Ilustrasi BAS

Jakarta, VIVA – Pernyataan yang dianggap seksis dan anti-feminis adalah bentuk komunikasi verbal, tulisan, atau perilaku yang merendahkan, mendiskriminasi, atau menganggap rendah individu berdasarkan gender mereka, khususnya terhadap perempuan.

Sikap seksis sering kali menempatkan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, sementara anti-feminis menolak atau menentang prinsip-prinsip kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh gerakan feminisme.

Contoh pernyataan yang masuk kategori ini bisa berupa komentar yang merendahkan kemampuan perempuan, stereotip gender yang membatasi peran perempuan, atau bahkan candaan yang mengobjektifikasi tubuh perempuan.

Ilustrasi pelecehan

Photo :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Pernyataan semacam itu tidak hanya mencerminkan pandangan pribadi yang merugikan, tetapi juga berpotensi memperkuat ketidakadilan dan ketimpangan gender di masyarakat.

Pejabat negara memiliki tanggung jawab etis yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Sebagai figur publik, mereka seharusnya menjaga profesionalisme dan netralitas, serta menghindari pernyataan yang dapat merugikan kelompok tertentu, termasuk perempuan. 

Standar etika ini penting untuk dipatuhi karena tindakan dan ucapan mereka berpengaruh besar terhadap persepsi masyarakat.

Pernyataan pejabat negara harus mencerminkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan menghormati martabat semua individu, tanpa terkecuali, sehingga mereka tidak boleh membuat pernyataan yang seksis dan anti feminis.

Dalam konteks hukum di Indonesia, Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Misalnya, pernyataan seksis dan anti-feminis yang diunggah di media sosial oleh seorang pejabat negara akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap pasal ini, karena dapat merendahkan martabat individu atau kelompok berdasarkan gender mereka.

Oleh karena itu, penting bagi pejabat negara untuk selalu berhati-hati dalam menyampaikan pendapat atau pandangan di ruang publik.