Heri Chandra Santosa Menghidupkan ‘Pesantren’ Sastra di Lereng Medini
- Satu Indonesia
Kendal – Sastra tidak hanya tulisan pada selembar kertas. Tidak hanya pajangan di rak-rak buku atau di lemari. Sastra memiliki banyak manfaat, mulai dari “kendaraan” untuk menyampaikan saran dan kritik, hingga jendela untuk membuka cakrawala dunia.
Dengan sastra peradaban dunia mulai dikenal, ilmu pengetahuan disebarkan hingga nilai-nilai moral diketahui oleh umum. Melalui sastra juga banyak pejuang kemerdekaan menyampaikan nilai-nilai perjuangan dan perlawanan mereka.
Besarnya manfaat sastra menjadi alasan sastra akan terus selalu hidup dari generasi ke generasi.
Era 4.0 yang menyeruak masuk dan membuat dunia serba digital makin hari semakin menyisihkan sastra. Meskipun sastra hadir pada digital, konsen generasi muda dalam pemanfaatan teknologi lebih kepada hiburan. Sastra sudah mulai tertinggal dan minat baca atau menulis cenderung menurun.
Dialah Heri Chandra Santosa, pria yang selalu gigih menghidupkan sastra hingga pelosok desa di Kendal Jawa Tengah. Baginya, sastra bukan hanya milik orang kota atau seniman sastra yang dikenal pandai dan cerdas. Mempelajari sastra adalah hak semua orang, termasuk masyarakat desa atau orang yang terpinggirkan.
Pria kelahiran Kendal pada 22 Mei 1982 bersama sahabatnya Sigit Susanto mendirikan Komunitas Lereng Medini (KLM) yaitu sebuah komunitas yang konsen memberi ruang masyarakat desa untuk belajar sastra dan budaya.
Alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang ini bersama Sigit sahabatnya yang bermukim di Swiss mendirikan komunitas sastra tersebut untuk menghidupkan sastra di lereng Bukit Medini Kendal.
Dia ingin agar masyarakat dapat berbicara tentang sastra. Sastra tidak hanya dikooptasikan milik masyarakat kota atau seniman ternama. Semua orang berhak mengenal sastra.
Heri yang berlatarbelakang sebagai jurnalis ini menggandeng Sigit seorang pegiat kesusastraan asal Boja. Dia mendirikan KLM pada 2008 yang diberi nama sesuai dengan tempat mereka mengajar sastra di Bukit Medini.
Sebelum membangun komunitas tersebut, pada 2006 mereka membuka perpustakaan gratis bernama “Pondok Maos” di rumah milik Sigit di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Boja.
Dengan memanfaatkan karya sastra Indonesia maupun asing, mereka memberikan ruang bagi orang-orang yang ingin belajar sastra secara gratis.
“Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan,” kata Heri.
Selain rutin melakukan kajian sastra, mereka juga membentuk kelompok baca dengan membaca karya sastra bersama-sama dan membedahnya.
Agar masyarakat tidak bosan hanya membaca dan belajar sastra, Heri melakukan rangkaian kegiatan yang menarik seperti kemah sastra, kajian sastra, perlombaan sastra, perpustakaan bergerak hingga parade sastra.
Heri terus konsisten hingga saat ini dalam membumikan sastra. Setiap kegiatan, dia mengajak jurnalis hingga sastrawan untuk hadir dalam kegiatan tersebut, sehingga membuat masyarakat semakin betah mengenal sastra lebih dalam lagi.
Atas dedikasinya di bidang pendidikan ini, pada 2011 dia meraih apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra. Tahun itu ada sebanyak lima orang peraih apresiasi. Salah satunya adalah Heri.
SATU Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat sekitarnya di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.
Dengan apresiasi tersebut, diharapkan orang-orang seperti Heri yang berkontribusi nyata untuk mencerdaskan anak bangsa dapat semakin banyak lagi.