Tolok Ukur Seorang Muslim Dianggap Mampu untuk Berkurban saat Idul Adha

Sejumlah pedagang menjajakan hewan untuk kurban di pasar hewan
Sumber :
  • ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Jakarta – Kurban merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam (sunnah muakkad). Dengan melaksanakan kurban, seseorang telah membuktikan keimanannya kepada Allah, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim AS.

Bahkan, disebutkan Rasulullah SAW dalam hadisnya yang masyhur bahwa tidak ada ibadah yang disenangi oleh Allah pada hari raya Idul Adha selain berkurban.

“Tidak ada amalan yang dilakukan oleh manusia pada hari raya kurban, yang lebih dicintai oleh Allah selain menyembelih hewan (berkurban). Sesungguhnya, hewan kurban itu pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu, dan kuku-kukunya. Dan sungguh, sebelum darah kurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Karenanya, lapangkanlah jiwa kalian untuk melakukannya.” (HR at-Tirmidzi).

Hewan kurban.

Photo :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

Mengutip laman Nahdlatul Ulama, Rabu, 28 Juni 2023, Syekh Abdurrahman as-Shafuri asy-Syafi’I dalam bukunya menjelaskan bahwa suatu saat Nabi Daud pernah bertanya kepada Allah perihal pahala atau balasan yang akan didapatkan oleh umat Nabi Muhammad yang berkurban.

Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT berfirman: “Pahalanya adalah bahwa pada setiap bulu dari hewan kurbannya, aku beri dia sepuluh kebaikan, aku hapus sepuluh dosa-dosanya dan aku angkat dia dengan sepuluh derajat. Ketahuilah wahai engkau Daud, bahwa sesungguhnya hewan kurban itu adalah kendaraan dan sungguh hewan kurban itu adalah penghapus kesalahan-kesalahan.” (buku Nuzhatul Majalis wa Muntakhabu an-Nafais, juz I, halaman 229).

Namun demikian, karena faktor finansial dan kebutuhan yang berbeda-beda, banyak dari umat Islam yang kadang tidak berkurban ketika sudah mencapai waktunya. Lantas, sebatas manakah tolok ukur seseorang dikatakan mampu untuk berkurban?

Tolok ukur seorang Muslim dianggap mampu untuk berkurban

Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya mengancam orang-orang yang mampu untuk berkurban namun lalai dalam menunaikannya untuk tidak mendekati tempat shalat hari raya Idul Adha. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah berikut: “Siapa saja yang memiliki kemampuan (keluasan rizki), kemudian ia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami (shalat Idul Adha).”

Berkaitan dengan kriteria atau batasan mampu seseorang dalam berkurban, Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam bukunya mengatakan bahwa yang dimaksud sudah mampu adalah ketika seseorang memiliki kelapangan rezeki yang lebih dari kebutuhan dirinya, dan kebutuhan keluarganya, terhitung sejak hari raya Idul Adha hingga selesainya hari tasyrik (tanggal 13 Dzulhijjah).

Adapun menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam buku Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj disebutkan bahwa tolok ukur seseorang dikatakan mampu berkurban adalah ketika sudah memiliki rezeki yang lebih untuk dirinya dan keluarganya, mulai dari pakaian dan makanan, sejak hari raya Idul Adha hingga tiga hari setelahnya (hari tasyrik).

Sementara menurut Imam Ibnu Hajar alasan seseorang dikatakan mampu adalah ketika sudah memiliki rezeki yang lebih dari kebutuhannya, karena kurban merupakan bagian dari sedekah. Karena bagian dari sedekah, maka orang yang hendak berkurban harus tercukupi semua kebutuhannya mulai dari hari raya hingga hari tasyrik.

Dari beberapa penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa batas atau kriteria seseorang dikatakan mampu untuk berkurban adalah jika sudah memiliki rezeki yang lebih dari kebutuhannya, baik kebutuhan dirinya maupun kebutuhan keluarganya. Jika tidak, maka ia tergolong orang-orang yang tidak mampu untuk berkurban.