Dekan Fakultas Hukum UKI Beri Pandangan Soal Kejanggalan Kasus Ilegal Logging

Ilustrasi terdakwa saat menjalani persidangan.
Sumber :
  • VIVA/Dani Randi

VIVA Edukasi – Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, Dr Hendri Jayadi SH MH yang mempersoalkan ketidakadilan yang menimpa Direktur Keuangan PT Keang Nam Develompment Indonesia dan PT Mujur Timber, Adelin Lis.

Menurut Hendri Jayadi, proses hukum yang menimpa Adelin Lis pada tahun 2007 tersebut dinilai penuh kejanggalan dan masih menyisakan tanda tanya.

Diketahui, Adelin Lis divonis bebas murni dalam kasus dugaan pembalakan liar atau illegal logging di Mandailing Natal, Sumatera Utara, oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumut, tahun 2007 lalu.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam putusan kasasinya tahun 2008, MA memvonis Adelin Lis dengan hukuman 10 tahun penjara. Yuk scroll untuk baca artikel selengkapnya.

Kini, Adelin Lis tengah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan.

Hendri Jayadi menilai, upaya kasasi yang diajukan jaksa atas putusan bebas murni itu salah.

“Ternyata jaksa salah dalam menerapkan hukum,” kata Hendri Jayadi dalam Podcast dengan “host” Chief Executive Officer (CEO) Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB), Rudi S Kamri dalam konten di kanal YouTube Kanal Anak Bangsa TV.

Ia lalu merujuk ketentuan Pasal 244 KUHAP yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Kesalahan kedua, kata Hendri, JPU dan Majelis Kasasi MA menggunakan Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yangg diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Padahal karena itu menyangkut kehutanan, seharusnya yang digunakan adalah UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” jelasnya.

Apalagi, kata Hendri, pada tahun 2006, MS Kaban yang saat itu menjabat Menteri Kehutanan sudah memberikan keterangan bahwa kasus yang menimpa Adelin Lis itu kasus perdata, bukan kasus pidana, sehingga sanksinya administratif, dan itu sudah dilakukan oleh Adelin Lis.

Diketahui, Adelin Lis disangka melakukan penebangan hutan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaannya, namun masih di wilayah konsesinya.

“Menebang di luar RKT itu kan hanya persoalan adminstratif. Apalagi penebangan dilakukan di wilayah yang masih menjadi konsesinya,” papar Hendri.

Akibat adanya suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam proses hukum Adelin Lis, maka Hendri mendukung keluarga Adelin mengajukan upaya hukum luar biasa ke MA, yakni Peninjauan Kembali (PK).

Sesuai KUHAP dan UU No 14 Tahun 1985 tentang MA, kata Hendri, terpidana berhak mengajukan PK, bahkan hingga dua kali sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014.

“Syarat-syarat diajukannya PK, di antaranya apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, atau dengan kata lain ada ‘novum’ (bukti baru). Dan apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata,” tegasnya.

Hendri lalu menguraikan ada tiga faktor dalam penegakan hukum yang akan menentukan lahirnya keadilan, yakni “legal substantion” atau substansi hukum, lalu “legal structure” atau struktur hukum yang menyangkut aparat penegak hukumnya, dan “legal culture”.

“Secara substansi hukum, undang-undang yang dikenakan kepada Adelin Lis jelas salah. Aparat hukumnya juga begitu, mengajukan kasasi atas putusan bebas murni yang sesungguhnya dilarang Pasal 244 KUHAP. Jadi, memang akibatnya jauh dari rasa keadilan. Adelin Lis telah menjadi korban ketidakadilan dan kriminalisasi itu,” tandasnya.