5 Pahlawan Nasional Asal Jakarta, Ada Seniman Pencipta Lagu kebangsaan
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA Edukasi – Pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia atau masa kolonial, Kota Jakarta dulunya bernama Batavia yang ternyata juga menjadi ibu kota bagi Hindia Belanda. Semasa Pemerintahan kolonialisme, terdapat banyak tokoh-tokoh nasional yang turut terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Lalu, siapa saja tokoh-tokoh nasional asal Jakarta tersebut? Merangkum dari buku Sejarah Nasional Indonesia, berikut tokoh-tokoh nasional dari Jakarta yang dapat VIVA berikan.
1. Mohammad Husni Thamrin
Mohammad Husni Thamrin atau dikenal dengan MH Thamrin lahir di Jakarta Pusat, 16 Februari 1894. MH Thamrin dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Thamrin memulai kariernya saat ditunjuk untuk di Geementeraad atau Dewan Kota Batavia.
Semasa di Geementeraad, MH Thamrin menangani masalah terkait pembendungan Sungai Ciliwung untuk mengatasi banjir. Usahanya ini kemudian terbukti, proyek penanggulangan banjir yang berhasil dilakukan. Kemudian, pada tahun 1927, Thamrin diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat).
Ia membentuk Fraksi Nasional untuk memperkuat kedudukan golongan nasionalis dalam dewan. Pada rapat Volksraad pertama, Thamrin menyampaikan pendapatnya, bahwa kaum pribumi harus diberikan hak untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Thamrin juga turut aktif dalam kegiatan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan oleh dr. Sutomo.
Setelah Sutomo wafat, Thamrin diangkat menjadi Ketua Parindra. Pada 1939, Thamrin mengajukan mosi tentang penggunaan kata Indonesia. Sayangnya, mosi tersebut ditolak oleh Belanda. Thamrin wafat pada 11 Januari 1941. Ia dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta.
2. WR Supratman
Wage Rudolf Supratman atau WR Supratman lahir di Jatinegara, Jakarta, 9 Maret 1903. WR Supratman adalah pencipta lagu kebangsaan Indonesia bertajuk Indonesia Raya. Karya-karyanya pun terkenal memicu semangat nasionalisme di masa perjuangan zaman dulu kala. Salah satu karya terbesarnya adalah lagu Indonesia Raya.
Saat menciptakan lagu ini, WR Supratman dikejar-kejar oleh polisi Hindia Belanda karena takut akan lagu ini akan memicu semangat kemerdekaan dan pemberontakan. Terciptanya lagu Indonesia Raya sendiri dilatarbelakangi oleh adanya nasionalisme dan pergerakan yang dirasakan juga oleh WR Supratman.
Untuk ikut berkontribusi, akhirnya ia pun menciptakan lagu-lagu perjuangan. Awalnya, lagu Indonesia Raya tidak boleh dinyanyikan. Sampa akhirnya, Belanda mengizinkan dengan syarat-syarat lagu tersebut dinyanyikan tanpa lirik "merdeka, merdeka".
Pada awal Juli 1933, kondisi kesehatan WR Supratman mulai menurun. Kemudian, pada November 1933, ia memutuskan memutuskan diri dari pekerjaan di Sin Po sebagai jurnalis. Ia pun kembali ke Surabaya. Supratman wafat pada 17 Agustus 1938.
Atas sumbangsihnya, Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional melalui Kepres No. 10 Tahun 2013. Ia juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Upah dan Bintang Mahaputra Utama Kelas III pada 1971.
3. Ismail Marzuki
Ismail Marzuki lahir di Jakarta, 11 Mei 1914. Ismail Marzuki adalah seorang komposer, penulis lagu, dan musisi yang telah menulis sekitar 200 lagu lebih antara tahun 1931 dan 1958. Salah satu pencapaian yang terkenal adalah lagu Halo, Halo Bandung, Gugur Bunga, dan Rayuan Pulau Kelapa.
Semasa hidupnya, Marzuki memang mendedikasikan hidupnya untuk berkarya bagi Indonesia. Sampai pada tahun 1950, Marzuki mulai mengalami tahun-tahun yang cukup sulit.
Pada tahun 1958, kesehatan Ismail Marzuki mulai menurun. Ia meningkatkan diri dari kegiatan orkestranya. Tepat 25 Mei 1958 Ismail Marzuki menghembuskan napas terakhirnya dan disemayamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Berkat sumbangsihnya, ia pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2004.
4. Abdulrachman Saleh
Abdulrachman Saleh lahir di Jakarta, 1 Juli 1909. Ia adalah tokoh dari Radio Republik Indonesia (RRI) serta bapak fisiologi kedokteran Indonesia. Saleh turut mewujudkan sebuah pemancar agar segala informasi terkait Indonesia dan dapat terjalin dengan baik di dalam maupun luar negeri. Ia juga masuk ke dinas Angkatan Udara.
Pada tahun 1946, Saleh diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun. Saleh, Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Saat Belanda melaksanakan agresi militernya, Adisutjipto, komodor udara Indonesia, dan Saleh diperintahkan untuk pergi ke India.
Saat dalam perjalanan kembali ke tanah air, keduanya singgah di Singapura untuk mengambil obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Pada 29 Juli 1947, ketika perjalanan pulang ke Yogyakarta, pesawat yang mereka tumpangi ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda. Pesawat kehilangan kendali dan menabrak pohon.
Abdulrachman Saleh pun dinyatakan wafat pada insiden tersebut. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Yogyakarta. Pada 9 November 1974, berdasarkan SK Presiden No. 071/TK/Tahun 1974, Saleh dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
5. Piere Tendean
Pierre Tendean lahir di Batavia, 21 Februari 1939. Ia adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada 1965. Tendean memulai karier militernya dengan menjadi intelijen.
Ia menjadi mata-mata sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Pada 15 April 1965, Tendean ditunjuk untuk menjadi ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan Gerakan 30 September mendatangi rumah dinas Nasution untuk menculiknya.
Saat itu, Tendean sedang tidur di paviliun yang berada di samping rumah dinas Jenderal Nasution. Setelah terdengar sebuah suara tembakan, Tendean terbangun yang segera berlari ke depan rumah. Ia kemudian ditangkap oleh pasukan G30S yang dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua Djaharup.
Pasukan ini mengira bahwa Tendean adalah Nasution. Tendean lalu dibawa ke rumah di daerah Lubang Buaya. Di sana ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sumur tua. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Guna menghargai jasanya, pada 5 Oktober 1965, menurut SK Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, ia diangkat sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia.