Mengenal Istilah 'The Great Resignation' dalam Dunia Kerja

Ilustrasi pekerja profesional.
Sumber :
  • vstory

VIVA Edukasi –  Saat akhir pandemi Covid-19 mulai terasa, dunia kerja dihebohkan dengan fenomena gelombang pekerja yang berhenti dari pekerjaannya secara besar-besaran atau dikenal dengan istilah great resignation. Di sisi lain, muncul pula fenomena quiet quitting, di mana pekerja tidak berhenti sepenuhnya dari pekerjaan, tetapi berkerja dengan upaya memenuhi standar minimal saja.

Menurut Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat, ada 11,5 juta pekerja yang berhenti dari pekerjaannya selama periode April, Mei, dan Juni 2021. Sementara di Inggris, pada Agustus 2021 lalu, jumlah lowongan kerja melampaui satu juta pekerjaan. Hal sama yang terjadi di lanskap global, berdasarkan survei firma konsultasi SDM, Mercer, terhadap 30.000 orang dari 31 negara, tahun ini ada 41 persen karyawan berniat mengundurkan diri. Efek pandemi menyebabkan banyak hal terjadi pada diri mereka, sehingga membuat banyak orang memikirkan kembali karier, kondisi kerja, dan tujuan jangka panjang mereka. 

Dunia kerja.

Photo :
  • Unsplash

Bagaimana dengan fenomena The Great Resignation di Indonesia? Apakah para tenaga profesional di Indonesia juga merasa tertarik untuk resign dari pekerjaan mereka? Berdasarkan survei “The Great Resignation Reality Check” oleh Robert Walters, mengungkapkan fenomena ini tidak terlalu masif di Asia Tenggara. Survei tersebut dilakukan terhadap 2.600 lebih tenaga kerja profesional dari 1.100 lebih perusahaan di enam negara. Menurut laporannya, para tenaga kerja profesional terbukti dapat lebih menghargai stabilitas pekerjaan, khususnya di era yang penuh ketidakpastian. 

Di Indonesia sendiri, sebanyak 77 persen tenaga kerja profesional masih dalam fase mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, sedangkan sebanyak 45 persen lainnya belum ingin melakukannya. Alasannya, belum adanya pekerjaan yang cocok (56 persen), kurangnya peluang pekerjaan di bidang yang mereka tekuni (23 persen), dan kekhawatiran akan keamanan status pekerjaan di perusahaan baru (21 persen).

Ilustrasi Profesional

Photo :

Faktor apa saja yang menjadi pertimbangan karyawan untuk resign? 

Dalam survei terbaru Grant Thornton LLP dengan total 5000 responden pekerja profesional di Amerika Serikat dari berbagai industri dan demografi, terkuak beberapa faktor utama yang menjadi pertimbangan karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Dikutip dalam survei tersebut, faktor utama yang menjadi pertimbangan antara lain: 

?    Kenaikan gaji pokok yang tidak memenuhi ekspektasi. (37%)
?    Tidak adanya perkembangan karier yang jelas di perusahaan. (27%)
?    Benefit perusahaan, di luar asuransi kesehatan dan pensiun, yang tidak memenuhi ekspektasi. (18%)
?    Perusahaan yang mulai menerapkan kebijakan Work From Office (WFO) setelah pandemi (16%)

Meski fenomena The Great Resignation diperkirakan belum dialami para profesional di Indonesia, penting bagi perusahaan untuk tetap meningkatkan employee engagement guna mempertahankan karyawan. Berdasarkan Grant Thornton “HR Leaders” survey 2022, terdapat beberapa cara yang dapat perusahaan lakukan untuk mempertahankan talenta - talenta terbaik di perusahaan, antara lain: 

?    Mempertimbangkan implementasi kebijakan tempat kerja hybrid jika hal tersebut diinginkan oleh karyawan.
?    Menyusun benefit baru yang dapat memotivasi karyawan terutama dari sisi emosional, finansial, fisik, profesional dan kesejahteraan sosial.  
?    Mengenali potensi gejala penyebab stress pada karyawan seperti work-life balance maupun kesehatan mental serta mampu menawarkan solusi bagi karyawan. 

Emme Tarigan, Human Capital Director Grant Thornton Indonesia mengatakan “Human Capital sebagai salah satu pilar dalam perusahaan, harus menginisiasi strategi program retensi layanan sebagai upaya untuk meredam dampak fenomena Great Resignation, sehingga walaupun fenomena tersebut terjadi di Indonesia, perusahaan dapat bertahan dan karyawan sudah memiliki engagement yang tinggi.

“Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi digital juga mengalami perubahan. Perusahaan dituntut untuk bisa mengimplementasikan hybrid working dengan bijak guna mempertahankan kualitas kerja karyawan serta mengedepankan hal-hal yang penting di mata karyawan, namun tetap seimbang dengan kelangsungan bisnis”, ungkap Emme dalam keterangannya yang diterima VIVA, Jakarta, Kamis (27/10).

Lanjut Emme, salah satu bentuk kebijakan yang dapat dilakukan agar perusahaan tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman, adalah bagaimana membentuk alur kerja yang efektif dengan dukungan alat dan sistem kerja yang relevan sehingga kualitas atau output kerja dapat lebih maksimal dengan usaha kerja yang efisien.

“Hal ini akan mendongkrak work-life balance karyawan, menghindari burnout, serta secara tidak langsung meningkatkan kepuasan dan engagement karyawan terhadap perusahaan,“ tutup Emme.