Guru Besar IPB University: Perlunya Pengembangan Agroindustri Kedelai

Prof Made Astawan, Guru Besar IPB University, dalam Webinar Propaktani
Sumber :
  • Biro Komunikasi IPB University

VIVA – Prof Made Astawan, Guru Besar IPB University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) menjelaskan perlunya pengembangan agroindustri kedelai bernilai tambah tinggi sebagai sumber protein Indonesia.

Tidak hanya dibuat sebagai lauk tempe. Kandungan gizi tinggi pada kedelai, yakni kadar protein tinggi dan kalori yang rendah sangat cocok dijadikan sebagai pangan komplementer.

Menurutnya, sebanyak 100 gram tempe juga sudah cukup bagi pemenuhan karbohidrat harian. Selain itu, tempe kaya akan komponen bioaktif khas yaitu isoflavon yang berfungsi antioksidan hingga anti kanker.

“Bila Jepang sangat bangga dengan natto dan miso, Indonesia harus bangga dengan tempe. Karena bila tempe dibandingkan natto dan miso, hampir setara kandungan isoflavonnya,” jelasnya dalam Webinar Propaktani berjudul “Menyelamatkan Kedelai Indonesia Sebagai Sumber Protein Nabati Penting Bagi Ketahanan Pangan”, (08/04).

Ia menambahkan, olahan kedelai tidak hanya terbatas sebagai tempe dan tahu. Produk olahan kedelai dapat dijadikan sebagai ingredient pangan yaitu minyak, lesitin atau proteinnya. Protein kedelai dapat diambil sebagai defatted soy flour, soy concentrates dan soy isolates dan diolah menjadi daging analog.

Ketua Forum Tempe Indonesia ini juga mengatakan nilai tambah tempe per tahun masih cukup besar. Bahkan, produsen skala kecil di industri olahan kedelai menciptakan lapangan kerja terbanyak. Namun demikian, produsen skala kecil memiliki struktur produksi yang lebih sensitif terhadap gejolak harga kedelai. Hal ini disebabkan karena 85,44 persen bahan baku utamanya kedelai dan menyumbang 74,5 persen dari total biaya produksi. Sehingga wajar bila kenaikan harga kedelai menyebabkan kenaikan harga tempe.

Kendati demikian, lanjutnya, tempe memiliki elastisitas permintaan yang rendah. Saat kenaikan harga tempe terjadi, daya beli konsumen tidak terpengaruh. Masyarakat belum menemukan pengganti tempe sebagai ‘lauknya orang Indonesia’. Dibandingkan dengan protein hewani, harga tempe masih terbilang terjangkau.

“Jadi memang paling terjangkau bagi semua lapisan khususnya bagi kaum menengah ke bawah. Tempe sebagai sumber protein luar biasa. Dan bila kita kaji kualitas tempe, hampir setara dengan protein hewani,” tambah Prof Made Astawan dalam keterangan persnya dari Biro Komunikasi IPB University kepada VIVA, Senin (11/4).

Ia menjelaskan, kontribusi protein tempe dalam pemenuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian adalah 10 persen. Sedangkan daging hewani masih di bawah enam persen. Hal ini mengindikasikan hanya orang tertentu yang bisa mengkonsumsi daging setiap hari. Bila dirata-ratakan per kapita, tempe menjadi nomor dua yang menyumbang protein tertinggi setelah beras. Tentunya jauh lebih unggul dari sisi kesehatan.

Menurutnya, aspek pemilihan kedelai harus mengandalkan varietas lokal seperti kedelai dari Grobogan. Semestinya, kualitas kedelai lokal tidak disejajarkan dengan kualitas kedelai impor karena tentu akan kalah saing. Kedelai lokal harus diposisikan dengan kedelai non Genetically Modified Organism (GMO).

“Sekarang bagaimana cara pemerintah untuk melobi industri pangan di Indonesia yang besar agar mau menggunakan kedelai non GMO dari local. Jangan impor sehingga petani bisa sejahtera,” pungkasnya.

Menurutnya, produsen tempe harus mulai memahami urgensi label sertifikasi dan inovasi kemasan sebagai tempe higienis. Bila tempe higienis dapat masuk pasar modern maka akan bernilai tambah tinggi. Terlebih bila bisa diekspor.

“Tempe sudah diakui dunia sebagai salah satu superfood sehingga perlu diversifikasi olahan tempe. Model kolaborasi yang dapat diterapkan dalam program pengembangan tempe adalah model A-B-G + C yang melibatkan akademika, pelaku bisnis, pemerintah dan komunitas,” tandasnya.