Kalau Terjadi Perang Dunia ke-4, Ini 6 Aturan Perang Nabi Muhammad

Ilustrasi sahabat rasulullah.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Islam seringkali diproyeksikan sebagai agama kekerasan, baik karena bias atau misinformasi. Terkadang, Islam digambarkan sebagai ideologi kekerasan. Hal ini menyebabkan banyak orang salah mengira bahwa hal tersebut adalah versi Islam yang asli. Namun, tahukah kamu bahwa Islam memiliki aturan perangnya sendiri? Dan tahukah kamu bahwa ada banyak aturan perang Nabi Muhammad SAW dalam Islam?

Ketika kita melihat hadist Nabi Muhammad SAW, kita dapat melihat bahwa beliau berulang kali mengatakan kepada umat Islam untuk untuk memperhatikan aturan saat berperang. Mengutip dari Muslim Memo dan sumber lainnya, berikut ini sejumlah aturan perang Nabi Muhammad. 

1. Tidak ada pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan orang tua 

Rasulullah SAW memerintahkan para panglima perangnya agar mereka tidak membunuh anak-anak. Seperti yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

“jangan kalian membunuh anak-anak…” (HR. Muslim, 1731)

Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah kalian membunuh orang tua yang sudah sepuh, anak-anak, dan wanita…” (HR. Abu Dawud 2614, Ibnu Abi Syaibah 6/438, dan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 17932).

2. Tidak ada pembunuhan terhadap para rahib

Rasulullah SAW juga berpesan kepada pasukan perangnya untuk tidak membunuh para rahib. 

“Janganlah kalian membunuh pemilik bihara (rahib).”

Wasiat juga diberikan oleh Rasulullah SAW kepada pasukan yang hendak diberangkatkan menuju Mu’tah,

“Berangkatlah berperang di jalan Allah dengan menyebut nama Allah. Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian memutilasi mayat.” (HR. Muslim, no. 1731).

3. Jangan lari dari medan perang

Radulullah SAW bersabda: “Jangan kalian lari dari medan perang” (HR. Muslim 1731, Abu Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan Ibnu Majah 2857).

“Seorang non muslim yang dijamin darahnya (dijanjikan tidak diperangi), lalu (seorang muslim) membunuhnya, maka aku berlepas diri dari si pembunuh. Walaupun yang ia bunuh adalah seorang non muslim.” (HR. al-Bukhari 3/322).

4. Tidak merusak bumi

Peperangan dalam Islam bukanlah perang yang merusak bumi. Sangat jelas seperti yang diperintahkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq saat memberangkatkan pasukannya menuju Syam. Abu Bakar ash-Shiddiq berkata:

“Jangan membuat kerusakan di muka bumi.”

Abu Bakar ash-Shiddiq juga mengeluarkan wasiatnya:

“Jangan sekali-kali menebang pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan membunuh hewan-hewan ternak, jangan tebang pohon yang berbuah, janganlah kalian merobohkan bangunan,…” (Riwayat al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra 17904, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/75, dan ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar 3/144).

5. Memberi infak kepada tawanan

Memberi infak kepaa tawanan menadi salah satu yang dianjurkan dalam Islam agar mereka tidak begitu menderita. Seperti firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Insaan ayat 8 yang berbunyi:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS:Al-Insaan | Ayat: 8).

6. Tidak memutilasi mayat 

Meskipun dalam perang, Rasulullah SAW melarang pasukannya untuk memutilasi mayat musuh. Seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid:

“Nabi melarang perampasan dan memutilasi (musuh).” (HR. al-Bukhari 2342, ath-Thayalisi dalam Musnad-nya 1070, dan al-Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 14452).

Sementara, Imran bin Hushain juga mengatakan bahwa, “Nabi SAW memotivasi kamu untuk bertindak benar dan melarang kami memutilasi (musuh).” (HR. Abu Dawud dalam Kitabul Jihad 2667, Ahmad 20010, Ibnu Hibban 5616, dan Abdurrazzaq 15819. Al-Albani mengomentarai hadits ini adalah hadits shahih di Irwaul Ghalil 2230).

Rasulullah SAW bersabda:

“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seseorang yang dibunuh oleh seorang nabi, orang yang membunuh seorang nabi, pemimpin kesesatan, dan orang yang memutilasi.” (HR. Ahmad 3868, lafadznya dihasankan oleh Syu’aib al-Arnauth, ath-Thabrani dalam al-Kabir 10497, al-Bazar 1728. Al-Albani mengomentari hadits ini shahih dalam as-Silsilah ash-Shahihah 281).