Kisah Perang Jamal dalam Perkembangan Sejarah Islam
- Islam Indonesia
VIVA – Perang Jamal adalah perang yang terjadi di Basra, Irak pada tahun 656 masehi, antara pasukan yang berpihak pada Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu dari Nabi Muhammad) dan pasukan yang berpihak kepada Aisyah, Istri dari nabi Muhammad, yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu yaitu Utsman bin Affan.
Setelah berbaiat atas kekhalifahan Ali bin Abi Talib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam pergi ke Mekkah dan bertemu dengan Aisyah untuk meminta pertanggung jawaban kematian Utsman bin Affan. Kemudian Ya’la bin Munyah dari Basra dan Abdullah bin Amir dari Kufah turut bergabung. Akhirnya mereka sepakat untuk berangkat ke Basra beserta 700 orang lainnya untuk mencari pembunuh Utsman bin Affan.
Sesampainya di Basra mereka menemui Gubernur Basra yaitu Utsman bin Hunaif dan menahan pergerakan pasukan ini berharap mereka mau menunggu kedatangan Ali dari Madinah. Tetapi karena provokasi salah seorang khawarij yang bernama Jalabah, peperangan antara Utsman bin Hunaif dan pasukan Aisyah tidak terbendung. Yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Hunaif. Ali pun baru mendengar kematian gubernurnya saat di Kufah. Di sini dia mengumpulkan pasukan hingga berjumlah 10.000 pasukan
Sejarah Perang Jamal
Dalam sejarah perkembangan agama Islam yang dikutip dari buku Sejarah & peradaban Islam, Moh Nurhakim (2003:51), salah satu peristiwa penting adalah Perang Jamal. Pada saat perang terjadi, istri Nabi SAW, yakni Aisyah menjadi pemimpin perang. Perang Jamal disebut juga Perang Unta, yang terjadi antar kaum muslimin untuk pertama kalinya.
Lebih dari 500.000 orang telah gugur baik di pihak Ali bin Abi Thalib maupun pihak Aisyah. Perang yang terjadi karena gugurnya Utsman ini membuat pihak Aisyah menuntut terhadap Ali bin Abi Thalib, namun sayangnya pihak Ali tak bisa mengabulkan tuntutan dari pihak Aisyah karena alasan berikut:
Tugas utama Ali adalah menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya menjadi milik
- Tugas Ali bukan untuk mengusut kematian Utsman.
- Menghukum pembunuh bukanlah perkara yang mudah, karena situasi politik yang sangat kacau.
Kronologi terjadinya perang Jamal adalah sebagai berikut:
- Khalifah Ali ingin melakukan kompromi kepada Thalhah dan yang lainnya agar tak pecah pertikaian, namun kesepakatan sulit tercapai, sehingga perang pun terjadi.
- Aisyah maju dan memberi Mushaf kepada Ka'ab bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata, "Ajaklah mereka kepada Kitabullah!" Ka'ab bin Sur pun maju dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya, dan disambut pasukan Kufah.
- Abdullah bin Saba' dan para pengikutnya yang berada di depan pasukan membunuh siapa saja dari pasukan Bashrah , saat Ka'ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya dengan anak panah hingga ia tewas.
- Aisyah dihujani anak panah namun ia tak mundur dan terus mendesak pasukan ke arah khalifah Ali.
- Banyak sekali pasukan yang gugur
- Aisyah terus mendesak maju dan mengejar pembunuh Utsman, sampai akhirnya unta yang dinaikinya tertebas kakinya.
- Unta tersebut roboh ke tanah dan ditebas kakinya adalah dengan tujuan agar Aisyah tak terkena anak panah, dan agar ia bisa keluar dari medan pertempuran.
- Setelah unta itu roboh, pasukan Aisyah banyak yang menarik diri, dan akhirnya Aisyah meminta perjanjian damai.
Terjadinya Perang Jamal
Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit sehingga qishash pun ditangguhkan.
Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancar. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh.
Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah kriminal biasa melainkan tragedi politik yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat.
Banyak Korban Syahid Berguguran
Pada hari Kamis pertengahan bulan Jumadil Akhir, Perang Jamal meletus. Sebelum pertempuran dimulai, Sahabat Ali membacakan salah satu mushaf dan berharap perang tidak jadi dilakukan. Namun, pihak Aisyah tidak mau mendengarkannya. Salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib justru terbunuh, dan pasukannya juga dihujani menggunakan anak panah.
Akhirnya Ali mengatakan kepada pasukannya bahwa perang sudah boleh dilakukan dengan beberapa ketentuan. Mereka tidak boleh menyerang terlebih dahulu, tidak boleh membunuh yang terluka, tidak boleh melukai anak-anak dan wanita, serta ketentuan lainnya. Sedangkan Aisyah telah siap di atas unta dengan pakaian besi yang lengkap.
Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak perang Jamal menjadi korban. Abu Khatsamah dari Wahab bin Jarir meriwayatkan bahwa jumlah pasukan Basrah yang terbunuh mencapai 2500 orang. Sedangkan riwayat lain menyebutkan bahwa jumlah korban dalam Perang Jamal berkisar antara 2500 – 6000 orang.
Di sisi lainnya lagi, pasukan Ali ibn Abi Thalib RA kehilangan 400 – 600 sebagai korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah SAW dijamin masuk surga, meninggal dunia. Thalhah mendapatkan serangan anak panah di kakinya. Ia dirawat di salah satu rumah warga di Basra karena mengalami pendarahan yang hebat. Akhirnya Thalhah meninggal karena telah kehabisan banyak darah.
Sementara Zubair melarikan diri dengan kembali ke Madinah setelah perang Jamal selesai. Namun, Amru bin Jurmuz yang mengetahui bahwa Zubair melarikan diri mengikutinya kembali ke Madinah. Amru pun membunuh Zubair di tengah perjalanan.
Akhir Perang Jamal
Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban, menyolati, dan menguburkannya. Ketika itu, Aisyah segera turun dari pelana unta setelah perang selesai. Ia pun dibuatkan tenda di sekitar tempat peperangan.
Usai tinggal di Basra selama beberapa hari, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Perang Jamal yang terjadi membuka mata Aisyah karena banyak provokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun Aisyah hingga perang tak terelakkan.
Sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak sampai akhir hayatnya. Ia juga banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut terlibat dalam peperangan.
Adapun dampak dari perang Jamal, yaitu banyaknya korban syahid yang berjatuhan dan kerugian materil lainnya. Padahal, seharusnya perang ini dapat dihindari, tetapi karena adanya provokasi, perang Jamal terjadi.