Mahasiswa UGM Melaksanakan KKN di Pulau Sabu

Ilustrasi mahasiswa belajar
Sumber :
  • vstory

VIVA – Semangat 24 orang mahasiswa UGM melaksanakan kegiatan pengabdian ke daerah terluar dan terisolir di wilayah bagian timur Indonesia patut diapresiasi. Para mahasiswa ini ditempatkan di Pulau Sabu yang berada di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Pulau yang berada di selatan NTT ini berada di seberang benua Australia. Para mahasiswa ini harus menempuh perjalanan lewat kapal laut selama kurang lebih 10-12 jam dari pelabuhan Kota Kupang.

Penerjunan mahasiswa KKN di Kabupaten Sabu Raijua ini diapresiasi langsung oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Sebab, menurut Gubernur, Kabupaten Sabu Raijua merupakan kabupaten yang paling kering di Provinsi NTT. “Hal itu disampaikan Gubernur saat menerima audiensi mahasiswa KKN PPM di Kupang pada 20 Desember lalu,” kata Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN PPM Dr. Widya Nayati, M.A., Jumat (31/12).

Meski kering dan tandus, Gubernur menyampaikan kabupaten yang berada di selatan Indonesia itu memiliki potensi sumber daya yang belum banyak dikembangkan misalnya dalam usaha tenun, rumput laut, tambak garam dan pariwisata. Oleh karena potensi itu perlu didorong lewat pemberdayaan secara berkelanjutan. “Gubernur yakin dengan ilmu yang dibagikan oleh mahasiswa ini bisa mengubah pola pikir warga untuk terus berkembang,” papar Widya Nayati.

Widya Nayati mengamini sebagian besar pulau tersebut gersang dan tandus. Bahkan sepanjang tahun, pulau tersebut paling sedikit mendapat pasokan air hujan. Tidak heran di pulau ini juga sering terjadi bencana badai angin siklon. “Bila ada bencana angin (badai siklon) daerahnya sangat terisolir,” kata Widya saat dihubungi via telepon.

Badai angin ini menurut Widya sering terjadi di pulau ini. Sampai-sampai warga di sana tidak berani keluar dari rumahnya masing-masing. “Kejadiannya bisa 2-3 jam sekali,” katanya.

Widya menuturkan mahasiswa mulai diterjunkan di pulau itu sejak tanggal 23 Desember lalu. Karena ada info dari BMKG bahwa badai ini terjadi hingga tanggal 26 Desember sehingga mahasiswa memilih untuk berlindung dan tidak keluar rumah untuk sementara waktu. Bila ada badai seperti ini menurut Widya, pulau ini menjadi terisolir sehingga pasokan bahan makanan dari luar menjadi tersendat sehingga masyarakat sangat bergantung dengan mie instan. “Jika ada bencana, yang ada bantuan mie instan,” kata Widya.

Widya menyampaikan selama dua bulan ke depan para mahasiswa UGM melaksanakan program pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi perempuan yang umumnya berasal dari keluarga nelayan dan petani. Pemberdayaan para perempuan menurut Widya dilakukan lebih kepada peningkatan sumber daya manusia berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan baik dalam pengembangan ekonomi dan kesehatan maupun pengetahuan  lainnya. “Kita ingin meningkatkan keterampilan wanita dalam meningkatkan kesehatan keluarganya dimana ia mampu mengolah bahan makanan sehat dan bergizi dari sumber daya alam yang ada di sekitar,” katanya.

Beberapa bentuk kegiatan adalah pengolahan makanan dari rumput laut, pengolahan ikan dan daun kelor. “Kita mengajari berbagai macam makanan yang sehat dan mudah dipakai dan dikonsumsi ibu dan anak-anak dengan bahan dasar yang ada di sini,” katanya.

Pemberdayaan perempuan tersebut menurut Widya tidak diarahkan untuk menjadi produk usaha namun lebih kepada peningkatan kesehatan dan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan gizi yang cukup agar tidak terjadi stunting. Namun, apabila ada perempuan yang tertarik untuk berwirausaha maka mahasiswa juga mengenalkan dan memberi keterampilan berwirausaha. “Kalau mau menjual, kita sudah menyiapkan bagaimana cara mendesain produk dan pengemasannya, lalu memasarkan secara online dan melatih mengelola keuangan dan menabung,” katanya. (ugm)