IPB Undang Psikolog untuk Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual
- Pexels/RODNAE Productions
VIVA – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University menggelar edukasi pencegahan kekerasan seksual dan perundungan, (17/11). Sebagai salah satu bentuk keamanan kampus, sangat penting bagi warganya untuk memahami bentuk dari kekerasan seksual dan perundungan serta cara menghadapinya.
Dr Fredinan Yulianda, Dekan FPIK IPB University mengatakan, harus dibangun sistem interaksi yang aman dan kondusif. Ia juga menegaskan, potensi yang mengarah pada penyimpangan dalam proses interaksi sebisa mungkin dicegah. "Dengan demikian, kegiatan akademik bisa berjalan maksimal sesuai dengan tujuannya,” ujar Dr Fredinan Yulianda.
Nuran Abdat, yang hadir sebagai narasumber mengatakan, kekerasan seksual bisa berupa ucapan, isyarat, fisik, visual, tindakan fisik, maupun secara psikologis atau mental. “Pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun. Catcalling adalah salah satu pelecehan seksual secara verbal,” papar Nuran Abdat, psikolog dari RS Ummi Bogor.
Nuran melanjutkan, kekerasan atau pelecehan seksual dan perundungan terus ada di masyarakat karena kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat. Ia juga menyebut, tindakan yang tergolong pelecehan seksual kerap dianggap sepele karena sudah menjadi kebiasaan umum, meskipun korban yang mendapat perlakuan merasa tidak nyaman.
“Tak jarang korban justru dianggap berlebihan dalam menanggapi perlakuan yang sebetulnya memang sudah digolongkan dalam pelecehan seksual. Terutama jika pelecehan hanya dilakukan dalam bentuk verbal atau isyarat yang kemudian berlindung di balik kata bergurau,” kata Nuran.
Ia juga menyebut, permisifisme atau pembiaran masyarakat inilah yang membuat para korban menjadi semakin tidak berdaya. “Pada beberapa kasus, korban pelecehan seksual tidak dapat berkutik saat kejadian, hal tersebut karena korban mengalami shock sehingga gerak motoriknya menjadi terhambat dan menyebabkan korban menjadi freeze, dalam kondisi ini maka dibutuhkan peran aktif dari saksi untuk memberikan bantuan,” ujarnya.
Nuran Abdat menekankan tentang pentingnya memahami batasan sehat dalam lingkungan. Ia juga menegaskan apabila batasan tersebut dilanggar, maka seorang individu harus yakin untuk mengatakan penolakan maupun perlawanan dengan tegas.
“Pemahaman tentang Batasan sehat akan dimiliki melalui edukasi, sehingga penting untuk melakukan edukasi kepada orang-orang yang disayang agar terhindar dari kekerasan seksual,” kata Nuran Dilansir VIVA dari laman ipb.ac.id.
Selain itu, Nuran Abdat juga memberi langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh para saksi untuk menolong korban kekerasan seksual atau pun perundungan. Langkah tersebut terangkum dalam 5D yang terdiri dari direct, distract, delegate, delay, dan document.
Maksud dari direct ialah menegur langsung pelaku dengan sikap yang jelas dan tegas. Langkah distract yakni dengan segera memindahkan korban kepada aktivitas lain untuk menghindari pelaku. Langkah delegate dilakukan dengan cara mencari bantuan kepada pihak ketiga yang dianggap lebih mampu menghentikan situasi yang terjadi. Sementara itu, delay dilakukan dengan menunggu hingga keadaan lebih kondusif untuk kemudian berbicara kepada korban mengenai kejadian yang menimpanya. Terakhir ialah dengan langkah document, yakni saksi mengupayakan untuk mendokumentasikan kejadian. Dokumentasi ini dapat berupa rekaman suara, video, maupun foto sebagai bukti telah terjadinya kekerasan seksual.
“Untuk institusi pendidikan, dapat mengambil langkah berupa penyediaan konselor serta perangkat aturan serta hukum yang tegas kepada para pelaku kekerasan seksual,” pungkas Nuran Abdat dalam konferensi pers. (ipb)