CTSS IPB Bahas Sains dan Budaya untuk Masa Depan Peradaban
- vstory
VIVA – Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University kembali menyelenggarakan Afternoon Discussion on Redesigning the Future (ADReF), 29/9. Diskusi ADReF kali ini membahas tentang sains dan budaya untuk masa depan peradaban Indonesia.
Prof Husin Alatas, Sekretaris Eksekutif CTSS IPB University mengatakan, diskusi kali ini membahas tentang keterkaitan antara sains dan budaya. “Jika kita bisa mengidentifikasi hal tersebut, ini dapat memberikan harapan bahwa Indonesia suatu saat akan berkontribusi terhadap perkembangan sains tanpa meninggalkan jati diri dan budaya bangsa,” kata Prof Husin Alatas, Guru Besar IPB University dari Departemen Fisika.
Terkait sains dan budaya, Prof Melani Budianta, menyebut, masa peradaban Indonesia terletak pada kelindan sains dan budaya. “Kalau kita tidak bisa mengintegrasikan sains dan budaya, artinya sains berjalan sendiri dengan budaya, maka akan sulit bagi kita dalam membangun peradaban di masa depan,” ujar Prof Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Ia pun mencontohkan, pengetahuan tradisional yang berkembang maju saat ini adalah teknik akunpuntur yang dikembangkan di China. Teknik akupuntur ini sangat terkait dengan budaya China, bahwa seluruh tubuh manusia merupakan satu kesatuan yang holistik.
“Jadi ada falsafah di balik praktik akupuntur ini. Karena satu titik di tubuh kita itu terkait dengan seluruh tubuh kita,” tambah Prof Melani Budianta.
Di Indonesia, katanya, budaya dan kearifan lokal yang masih lestari di masyarakat seperti praktik sasi. Praktik sasi ini terkait dengan pengetahuan tentang masa ikan bertelur. Praktik ini juga menjadi sistem untuk menjaga keberlangsungan spesies ikan serta konservasi sumber daya alam.
“Dari praktik ini, kita melihat bahwa budaya dan sains itu terkait di sini. Jadi ini perlu pendekatan dari berbagai ahli untuk meneliti di balik praktik sasi dan menunjukkan bahwa budaya kita mengenal ini,” tambahnya.
Kalau ini sampai hilang, lanjutnya, lalu kita lupakan dengan ilmu-ilmu kapitalisme, maka kita akan memaksa alam itu untuk keserakahan manusia. Namun demikian, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, terjadi dikotomi antara pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional.
“Pengetahuan modern menjadi hegemonik dan meminggirkan pengetahuan lokal yang saat ini masih dianggap sebagai tahayul, mitos, yang tidak berdasar dan tidak rasional,” kata Prof Melani.
Akibatnya, pengetahuan tradisional nyaris punah, padahal akupuntur, salah satu contoh sistem pengobatan herbal di China, ketika terus dikembangkan, pada akhirnya dapat melengkapi sistem pengobatan modern. Hal serupa juga berlaku bagi budaya dan pengetahuan tradisional di Indonesia apabila dikembangkan.
“Indonesia itu kaya dengan budaya dan keanekaragaman hayatinya, jadi mari kita jaga dan lestarikan kekayaan kita,” ajaknya.
Untuk mengembalikan kelindan sains dan budaya, ia menyarankan untuk mengadakan dialog lintas disiplin dalam pengetahuan modern. Tidak hanya itu, ia juga menyebut bahwa dialog transdisiplin dengan pengetahuan tradisional harus terus dikembangkan dan digali landasan filosofisnya. Terutama kaitannya dengan kearifan sosial-ekologi dan keterkaitan dengan sains.
“Paradigma neoliberal sedang krisis, ini memerlukan kearifan dan peradaban baru yang ekologis dan holistik, oleh karena itu, kelindan sains dan budaya menjadi kunci untuk memajukan peradaban di Indonesia,” pungkasnya. (IPB)