Cerai dalam Sains, Ada 6 Penyebabnya
- pixabay/Kadie
VIVA – Tidak ada yang menjamin bahtera rumah tangga akan aman-aman saja. Konflik kadang menghiasi mahligai rumah tangga. Bahkan, banyak pula rumah tangga yang dibina berujung perceraian karena konflik yang berkepanjangan.
Ilmuwan bidang sosial memprediksi kemungkinan penyebab perceraian. Dengan begitu, para pasangan suami istri alias pasutri bisa mencegah perceraian dengan masalah-masalah yang mungkin muncul. Prediksi itu berdasarkan beberapa studi dari berbagai penelitian.
Berikut prediksi yang disampaikan ilmuwan sosial dilansir laman Business Insider, Senin 8 Januari 2018:
Menikah di usia remaja atau setelah usia 32 tahun
Waktu terbaik untuk menikah adalah saat Anda merasa siap, dan saat Anda menemukan seseorang yang menurut Anda bisa menghabiskan seumur hidup.
Jangan memaksakan atau menundanya. Sebuah studi menyarankan di usia yang 'pas'
Penelitian menunjukkan, pasangan yang menikah di usia belasan dan pasangan yang menikah di usia setelah 30-an, lebih berisiko lebih tinggi untuk bercerai daripada pasangan berusia akhir 20-an dan awal 30-an.
"Risikonya sangat tinggi untuk pasangan remaja. Setelah usia 32, peluang perceraian meningkat sekitar 5% setiap tahun," kata Nicholas Wolfinger, peneliti Universitas Utah Amerika Serikat yang memimpin riset. Riset tersebut dirilis Institute for Family Studies.
Suami kerja tidak full time
Bukan hanya soal materi yang mempengaruhi perceraian. Sebuah studi tim Univeristas Harvard, Amerika Serikat pada 2016, yang diterbitkan dalam American Sociological Review menyatakan, suami yang tetap bekerja tapi tidak full time, berpotensi memicu perceraian.
Salah satu penelitinya, Alexandra Killewald menjelaskan, mereka meriset pernikahan yang dimulai setelah 1975. Tim mendapatkan, suami yang pekerjaannya serabutan potensi bercerai mencapai 3,3 persen setahun setelah menikah.
Dibandingkan dengan pasangan yang suaminya full time alias kerja tetap, potensi cerainya 2,5 persen.
Tapi untuk status pekerjaan istri, bagaimanapun, kata Killewald, tidak banyak berpengaruh terhadap perceraian.
Tidak lulus SMA
Biro Statistik Buruh Amerika Serikat menyoroti hasil National Longitudinal Survey of Youth (1979), yang melihat pola perkawinan dan perceraian dari sekelompok baby boomer muda.
Dalam survei itu, kemungkinan perceraian lebih rendah bagi pasangan yang menempuh pendidikan tinggi dibanding pasangan yang tidak lulus SMA atau di bawahnya.
"Ini mungkin berkaitan dengan fakta bahwa pencapaian pendidikan yang lebih rendah memprediksi pendapatan yang lebih rendah," kata psikolog Eli Finkel.
Merendahkan pasangan
Menunjukkan penghinaan terhadap pasangan menurut John Gottman, seorang psikolog di University of Washington, Amerika Serikat bisa menjadi 'penunggang kuda' menuju perceraian.
Misalnya, merendahkan karakter pasangan, meninggalkan pasangan dalam situasi sulit.
Terlalu demam pengantin baru
Memang dalam pernikahan, rasa kasih sayang diperlukan, tapi cinta yang berlebihan pun dianggap tak sehat
.
Penelitian psikolog Ted Huston dan timnya yang memeriksa perkembangan 168 pasangan selama 13 tahun menemukan, pasangan yang mengumbar rasa sayang sejak sebelum menikah biasanya rumah tangganya tidak awet.
Studi tim tersebut yang dipublikasikan dalam jurnal Interpersonal Relations and Group Processes menunjukkan ada yang unik dengan pasangan yang bercerai. Studi menemukan pasangan telah cerai 7 tahun atau lebih sembrono dalam menunjukkan kasih sayang sepertiga lebih dari rasa sayang pasangan yang menikah bahagia.
"Percaya atau tidak, perkawinan yang dimulai dengan sedikit 'roman Hollywood' biasanya memiliki masa depan yang lebih menjanjikan," demikian kesimpulan studi yang diunggah di laman Psycology Today.
Menghadapi konflik dengan diam
Sebuah studi pada 2013 yang diterbitkan dalam Journal of Marriage and Family menemukan, kecenderungan menyelesaikan konflik dengan diam pertanda bahtera rumah tangga Anda tidak bahagia.
Misalnya, ketika terjadi suatu masalah, satu pasangan menekan dan yang lainnya hanya menerima dengan diam.
"Pasangan butuh melihat bagaimana Anda berkontribusi terhadap suatu masalah. Dengan saling menghargai," kata pemimpin studi Paul Schrodt, yang berasal dari Universitas Texas Christian, Amerika Serikat.