Ibu Kota Adopsi Kota Spons akibat Kekeringan

Ilustrasi Kota Spons.
Sumber :
  • Deutsche Welle

Jakarta, VIVA – Ibu kota menghadapi lonjakan suhu udara dan kelangkaan sumber air bersih di musim panas. Solusinya mengumpulkan dan menyimpan air hujan, yang mengubahnya menjadi kota spons.

Ibu kota yang dimaksud adalah Berlin, Jerman. Akibatnya, pasokan air selalu menjadi topik hangat di musim panas.

Sebabnya, Berlin belakangan mulai mengadopsi konsep kota spons, dengan menyediakan ruang terbuka hijau untuk menyerap dan menyimpan air hujan saat dibutuhkan. Namun, bagaimana tepatnya hal itu dilakukan?

Mengutip situs DW, Senin, 12 Agustus 2024, langkah pertama adalah membangun beberapa cekungan luapan bawah tanah untuk menampung air limbah dalam jumlah besar.

Saat hujan, air dari daerah sekitarnya dikumpulkan di cekungan dan kemudian dipompa ke pabrik pengolahan.

Setidaknya sembilan unit fasilitas penyimpanan air limbah telah selesai dibangun, termasuk di bawah Mauerpark, tempat nongkrong populer di distrik Prenzlauer Berg, di mana sebagian Tembok Berlin pernah berdiri.

Cekungan air limbah dalam kota terbesar masih dalam tahap pembuatan. Ukurannya akan lebih dari dua kali lipat dari yang ada di Mauerpark.

Dengan kedalaman 30 meter di dalam tanah, cekungan beton melingkar tersebut akan menampung hampir 17 ribu meter kubik air hujan setelah selesai dibangun pada 2026.

Itu setara dengan hampir tujuh kolam renang ukuran Olimpiade. Ketika sistem pembuangan limbah berisiko meluap akibat hujan deras, limpahan air akan disimpan di dalam cekungan di bawah tanah.

Air tersebut kemudian dipompa ke instalasi pemurnian sebelum dilepaskan kembali ke kanal dan sungai setelah hujan berhenti.

Hal ini akan mencegah tinja dan air limbah terbuang ke Sungai Spree saat hujan deras, kata Astrid Hackenesch-Rump, juru bicara perusahaan air Berlin, BWB.

BWB bertanggung jawab atas pasokan air minum, serta pengelolaan dan pengolahan air limbah di seluruh kota.

"Kekuatan pendorong di balik program ini bukan hanya konservasi sumber daya dan kekeringan, tetapi juga untuk mencegah luapan limbah gabungan," kata Hackenesch-Rump.

Luapan seperti itu terjadi dalam sistem pembuangan limbah gabungan, tempat limpasan air hujan dan limbah domestik dikumpulkan dalam jaringan pipa yang sama.

Sistem ini awalnya dirancang untuk membawa semua air limbah ke instalasi pengolahan sebelum dibuang ke badan air alami. Namun, saat hujan deras, volume air yang masuk ke sistem dapat melebihi kapasitasnya.

Bila hal ini terjadi, kelebihan air yang terdiri dari campuran air hujan dan limbah yang tidak diolah, akan meluap langsung ke sungai-sungai di dekatnya.

Sekitar 2.000 dari 10.000 kilometer saluran pembuangan kota merupakan sistem pembuangan limbah gabungan. "Lubang-lubang ini akan mengalirkan limbah ke Sungai Spree," jelas Hackenesch-Rump.

Namun demikian, pembangunan penyimpanan air hanya merupakan sebagian jawaban dari solusi masalah air di Berlin. Karena masalah besar lain adalah betonisasi yang menutup permukaan tanah sehingga kedap air.

Dengan lenyapnya wilayah penampungan air akibat ekspansi kota, saat hujan deras, alih-alih tersedot, air mengalir malah bercampur dengan limbah.

"Bertambahnya penyegelan beton sebanyak satu persen saja bisa mengakibatkan peningkatan luapan sebesar 3 persen," imbuh Hackenesch-Rump.