Hujan Buatan BPPT 'Jinakkan' Titik Kebakaran Hutan di Riau
- BPPT
VIVA – Operasi penanggulangan kebakaran hutan di Provinsi Riau melalui teknologi modifikasi cuaca hingga kini masih berlanjut.
Pada 31 Maret, jumlah hotspot hasil monitoring MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dan SPNN (Suomi National Pollar-Orbiting Partnership Satellite) sudah berkurang hingga dua titik api.
MODIS adalah instrumen ilmiah yang diluncurkan ke orbit Bumi pada tahun 1999, fungsinya untuk mengambil gambar permukaan Bumi setiap satu hingga dua hari.
“Jumlah hotspot sudah berkurang secara signifikan, dan curah hujan terjadi secara merata di seluruh wilayah Provinsi Riau,” ujar Tri Handoko Seto, Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BB TMC-BPPT) di Jakarta, dalam keterangan tertulis.
Diketahui Provinsi Riau merupakan wilayah yang secara historis rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sebaran titik api terpantau di sepanjang pesisir timur seperti Kab. Rokan Hilir, Bengkalis, Siak, Pelalawan, Indragiri Hilir, Kep. Meranti dan Kota Dumai.
Di Riau, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) sudah dilaksanakan sejak 26 Februari 2019. Kegiatan TMC ini bertujuan untuk menanggulangi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di wilayah Provinsi Riau.
Menurut Tri Handoko Seto, target TMC mengacu pada beberapa parameter seperti curah hujan, jumlah titik api, hingga tingkat kebasahan lahan.
“Kegiatan TMC akan selesai jika kondisi beberapa parameter terkait karhutla sudah dinilai dalam kondisi aman. Pada beberapa kegiatan sebelumnya, TMC biasanya berakhir pada waktu menjelang puncak musim hujan di wilayah target,” paparnya.
Metode TMC dilakukan dengan penyemaian awan, yaitu bahan semai disebar ke dalam awan agar mempercepat proses fisis awan sehingga dapat memaksimalkan potensi awan menjadi hujan.
“Hujan yang turun ke permukaan akan membasahi lahan di wilayah Provinsi Riau sehingga mampu membantu pemadaman titik api. Kondisi lahan yang terjaga tingkat kebasahannya juga akan menekan potensi kemunculan titik api baru maupun penyebarannya,” ujarnya.
Sementara untuk mitigasi bencana asap akibat karhutla, kata Sutrisno, dengan melakukan pembasahan lahan sehingga dapat menekan jumlah titik api. Pembasahan lahan melalui hujan juga dapat mereduksi potensi penyebaran kebakaran yang telah terjadi, terutama pada lahan gambut.
“Dengan mengacu pada kasus kebakaran hutan dan lahan, maka wilayah-wilayah dengan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang tinggi yang menjadi fokus operasi TMC selama ini,” ujarnya.
Lebih dari satu bulan (26-31 Maret 2019), BBTMC-BPPT telah dilakukan penerbangan penyemaian awan di wilayah Provinsi Riau sebanyak 42 misi penyemaian dengan pemakaian bahan semai sebanyak 33.200 kg.
“Penerbangan penyemaian awan akan dilakukan dengan prioritas pembasahan lahan di wilayah yang terdeteksi konsentrasi titik api. Selain itu, pertimbangan keberadaan awan potensial juga menjadi syarat penyemaian awan,” ujarnya.
Bahan yang diperlukan untuk melakukan penyemaian awan yaitu berupa garam higroskopis. Partikel garam tersebut dibawa ke udara dengan menggunakan pesawat, kemudian disebar ke dalam awan potensial untuk mempercepat prosesnya menjadi hujan.
Sutrisno menjelaskan bahwa kendala terbesar penyemaian awan adalah masalah pesawat. Dua pesawat milik BBTMC saat ini masih dalam tahap perbaikan sehingga harus meminta dukungan pesawat dari TNI AU. (dhi)