Kali Item Berbusa, 'Sejahat' Apa Sabun Bagi Lingkungan?
- VIVA.co.id/ Syaefullah
VIVA – "Teman-teman biasanya membuang air bekas cuci ke mana?" tanya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengawali caption di Instagramnya, lima hari lalu.
Dalam foto, tampak Anies mengamati sungai yang permukaannya diselimuti buih berwarna putih. Diduga itu adalah limbah yang berasal dari deterjen.
"Bila membuangnya langsung ke selokan, maka air limbah yang mengandung deterjen itu akan terbawa terus ke sungai hingga berakhir di laut.
Itulah yang terjadi selama ini di Jakarta, seperti yang terlihat di Kali Sentiong (Kali Item) beberapa hari ini. Limbah deterjen dari berbagai sumber khususnya rumah tangga itu terakumulasi di danau Sunter, menjadi berbusa ketika dipompa untuk dialirkan ke Kali Sentiong," lanjut keterangan itu.
Anies memungkasinya dengan menyebut bahwa permasalahan limbah tersebut harus ditangani secara komprehensif. Pihak Pemprov akan menyiapkan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal.
Lalu dari sisi masyarakat diminta untuk mulai beralih menggunakan soft detergent yang lebih ramah lingkungan.
Mengapa deterjen menjadi masalah bagi lingkungan?
Deterjen merupakan produk pembersih yang dibuat dari senyawa kimia sintetis, berasal dari bahan alami seperti alkali dan saponin tanaman. Saat dialirkan ke pembuangan limbah, deterjen memiliki dampak luas bagi lingkungan.
Mengutip laman Live Strong, senyawa fosfat yang banyak terkandung dalam deterjen dapat menyebabkan eutrofikasi, suatu proses di mana ekosistem akuatik air tawar perlahan-lahan mati karena penipisan oksigen terus-menerus.
Pada pertengahan tahun 2010, sekitar setengah lusin negara telah melarang deterjen yang mengandung fosfat, termasuk cairan pencuci piring.
Selain itu, deterjen juga mengandung surfaktan. Bahan kimia ini berfungsi membantu melenyapkan kotoran dari pakaian atau benda lain yang dibersihkan. Surfaktan mampu mengurangi ketegangan antara permukaan minyak dan air.
Namun, surfaktan juga merupakan racun bagi kehidupan akuatik. Dalam lingkungan air tawar, deterjen yang mengandung surfaktan dapat memecah lapisan lendir pada kulit ikan. Padahal ikan-ikan perlu lapisan lendir itu untuk melindungi tubuh mereka dari parasit dan bakteri.
Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency/EPA) Amerika Serikat menyebut bahwa surfaktan dapat mengganggu sistem endokrin manusia dan hewan, serta mengurangi tingkat perkembangbiakan organisme akuatik.
Kerugian itu belum termasuk sampah plastik dari kemasan deterjen yang tak dapat didaur ulang.
Deterjen ramah lingkungan
Di akhir keterangan postingan Instagram Anies Baswedan menyebut perlunya masyarakat menggunakan soft detergent yang ramah lingkungan.
Istilah soft detergent bisa juga disebut biodegradable, yaitu zat pembersih yang dapat terurai secara hayati menjadi elemen yang lebih kecil dan lebih sederhana dalam periode waktu yang singkat.
Penyebutan lainnya yaitu deterjen lunak. Pada prinsipnya, zat pembersih ramah lingkungan harus menurun konsentrasinya sebesar 70 persen atau lebih dalam 28 hari.
Menurut sumber, sabun/deterjen biodegradable di Indonesia harganya jauh lebih mahal dibanding deterjen kimia biasa. VIVA mencoba menghubungi peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai deterjen ramah lingkungan. Namun sayangnya belum berhasil terhubung.
Mengutip laman Detergents and Soap, deterjen biodegrable ini bisa dibuat sendiri, yaitu dengan mencampur soda kue dan boraks untuk mencuci pakaian.
Pertanyaannya kemudian, bisakah manusia modern melepaskan ketergantungan dari sabun dan deterjen kimia? Jika menaruh kepedulian besar terhadap masa depan lingkungan, tentunya konsep dan ketersediaan deterjen/sabun biodegradable merupakan hal yang harus ditangani serius. Bukan hanya pemerintah tapi juga seluruh elemen masyarakat. (ann)