Antisipasi Tsunami, Ini Syarat Dirikan Bangunan Dekat Pantai
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu, 22 Desember lalu, menambah panjang daftar bencana alam di Indonesia sepanjang 2018. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 1.245 kejadian yang didominasi bencana hidrometeorologi.
Pengurangan risiko bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak. Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto mengatakan, peringatan dini harus dibarengi dengan tata ruang.
"Sebaik apa pun peringatan dini yang kita punya, jika tidak dibarengi perbaikan tata ruang, maka tidak akan membantu menyelamatkan banyak jiwa," katanya saat melakukan media briefing di LIPI, Jakarta, Rabu, 2 Januari 2019.
Jika kita melihat bencana tsunami Selat Sunda, efeknya tidak sampai ke jalan utama karena faktanya tsunami tidak terlalu besar. Banyaknya korban terjadi karena pemukiman dan hotel didirikan nyaris mendekati bibir pantai.
"Idealnya hunian itu sejauh 300 meter dari bibir pantai, untuk perlindungan jika ada gelombang tinggi. Perlu peran aktif semua pihak serta ketegasan pemerintah dalam mengatur tata ruang wilayah pantai," kata Eko.
Tsunami yang timbul akibat gempa vulkanologi, berbeda dengan tsunami yang disebabkan gempa tektonik. Banyak masyarakat memiliki persepsi bahwa gempa berkekuatan besar akan menimbulkan tsunami.
Faktanya, gempa kecil namun berdurasi lebih dari 60 detik, juga dapat menjadi tanda akan datangnya tsunami. Namun persoalannya untuk menghitung waktu akan terasa sulit dalam kondisi panik.
"Memahami lama guncangan adalah hal yang sulit, perlu dikembangkan metode dan teknologi khusus untuk mengetahui lama guncangan gempa. LIPI saat ini tengah mengembangkan teknologi tersebut," ujarnya.
Eko juga menambahkan, adanya teknologi itu akan jauh lebih efisien bagi masyarakat. Karena mereka yang berada di wilayah terdekat dengan garis pantai, tidak perlu berlari menjauh jika gelombang yang datang kecil.
Nantinya, alat tersebut akan mengirimkan bunyi alarm jika gempa lebih dari 60 detik, yang artinya berpotensi tsunami besar. Apabila gempa kurang dari 60 detik, alat tidak mengeluarkan bunyi, karena diprediksi tidak ada gelombang atau tsunami yang datang kecil, dan masyarakat relatif aman untuk tetap tinggal. (dhi)