Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Bencana Tsunami?

Jokowi Tinjau Lokasi Tsunami Selat Sunda.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Rabu hari ini, 26 Desember 2018, menandai 14 tahun tsunami besar yang melanda Aceh. Tsunami tersebut diyakini sebagai tsunami paling mematikan dalam sejarah, dengan hampir 230 ribu korban tewas dari Indonesia, Sri Lanka, India, Maladewa, Thailand, Myanmar, Malaysia, Somalia, Tanzania, Seychelles, Bangladesh dan Kenya.

Bertahun-tahun setelahnya, tsunami demi tsunami kembali terjadi. Usai di Palu dan Donggala pada September lalu, yang baru-baru ini Banten dilanda bencana yang sama.

Meski para ahli menyatakan wilayah Nusantara merupakan daerah yang rawan bencana, namun masih banyak pertanyaan yang mengemuka mengenai kesesuaian sistem peringatan tsunami di Indonesia.

Dikutip dari SBS News yang mengamati ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari bencana tsunami yang melanda, baik tsunami Aceh maupun tsunami-tsunami setelahnya.

1. Bagaimana tsunami terjadi

Pukul 07.59 WIB, 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter melanda pantai Sumatra, dan itu adalah gempa bumi terkuat ketiga yang tercatat di dunia sejak 1900.

Gempa tersebut berpusat 30 km di bawah dasar laut, pada bentangan lempeng tektonik India sepanjang 1.200 kilometer, yang kemudian menaikkan dasar laut beberapa meter dan menghempaskan 30 kilometer kubik air ke daratan.

Dalam 20 menit, tsunami telah mencapai Sumatra dengan gelombang hingga 30 meter tercatat di wilayah Aceh. Gelombang dahsyat itu membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mencapai Thailand dan Sri Lanka, dan tiga jam untuk mencapai Maladewa.

2. Masyarakat menjadi sadar tsunami

Pada 2004, wilayah tersebut tidak memiliki sistem peringatan tsunami Samudra Hindia yang terkoordinasi. Begitu pula masyarakatnya belum memiliki kesadaran tinggi terhadap tsunami.

Namun usai bencana tsunami tersebut, kesadaran masyarakat mulai meningkat, disertai dengan diadakannya proyek infrastruktur pendeteksi bencana, seperti jaringan sensor dasar laut, gelombang suara yang sarat data, dan kabel serat optik.

Tetapi karena dugaan "perselisihan antar-lembaga" dan masalah pendanaan, proyek belum bergerak lebih jauh dari tahap prototipe.

Setelah tsunami Sulawesi yang mematikan pada bulan September tahun ini, kurangnya peringatan menimbulkan pertanyaan apakah jika sistem baru telah selesai dibangun, akan dapat menyelamatkan nyawa banyak orang.

Pakar manajemen bencana Louise Comfort dari University of Pittsburgh, berpendapat bahwa penanganan tsunami lebih dari sekadar isu bencana, melainkan tragedi sains.

"Bagi saya, ini adalah tragedi bagi sains, terlebih lagi tragedi bagi masyarakat Indonesia sebagaimana yang ditemukan oleh penduduk Sulawesi saat ini,” katanya.

3. Kurikulum kebencanaan

Setelah tragedi tsunami Banten, pada Sabtu lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geologi (BMKG) untuk mengembangkan sistem yang dapat memberikan peringatan dini kepada masyarakat.

Tak hanya itu, di akun Instagram Jokowi juga memberi keterangan perlunya kurikulum tentang kebencanaan. Keterangan itu diunggah bersama foto Jokowi saat memantau lokasi bencana di Pantai Mutiara Carita di Pandeglang Banten, pada 25 Desember 2018.

“Melihat potensi bencana di Tanah Air dan banyaknya korban yang ditimbulkannya, saya memandang perlu untuk memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum pendidikan. Dengan begitu, masyarakat mendapatkan pengetahuan sejak dini terkait kebencanaan sehingga dapat meminimalisir jumlah korban,” kata Jokowi. (dhi)