Ribuan Orang Tanam Chip di Tubuh, Alasannya Bikin Ngilu

Chip ditanam tubuh yang dibuat Three Square Market (32M).
Sumber :
  • www.zdnet.com

VIVA – Empat ribu warga Swedia ramai-ramai tanam chip mikro seukuran beras di tubuhnya lantaran dinilai memiliki 'kekuatan' untuk mengakses tempat tinggal, kantor, pembayaran nontunai seperti menggunakan kereta bawah tanah, hingga menghadiri konser musik.

Hal tersebut dikarenakan di dalam chip mikro tersimpan data pribadi yang dikirim lewat gelombang radio. Artinya, chip ini menjadi 'KTP berjalan' bagi warga Swedia dan ditanam pada area berdaging pada kulit manusia seperti ibu jari atau telunjuk.

Dengan harga hanya US$180 atau sekitar Rp2,6 juta, chip langsung ditanam di dalam kulit dengan bantuan suntikan. Tanam chip mkiro ini secara berangsur-angsur menjadi sesuatu yang diminati di Swedia karena 'kenyamanan, keterjangkauan akses, dan murah'.

Ternyata bukan hanya Swedia, tercatat, seperti dikutip dari Mashable, Rabu, 14 November 2018, lima negara lainnya akan melakukan hal yang sama. Kelimanya adalah China, Jepang, Jerman, Prancis, dan Spanyol.

Mantan tukang tindik tubuh profesional, Jowan Osterlund, mengklaim bahwa chip mikro yang ditanam tubuh ini tidak disusupi oleh teknologi pelacak seperti GPS. Osterlund bekerja di BioHax International, perusahaan yang bergerak di bisnis microchipping di Swedia.

Sementara itu, pernyataan Osterlund ini tidak membuat para kritikus percaya dan justru menjadi skeptis. Salah satunya Sekretaris Jenderal Trades Union Congress atau TUC asal Inggris, Frances O'Grady.

Menurutnya, chip mikro akan memberi atasan lebih banyak kekuatan dan kontrol atas karyawannya. Ia menegaskan ada risiko nyata yang terlibat, dan para pengusaha tidak boleh menyingkirkannya, atau menekan karyawannya yang menyebabkan kesewenang-wenangan.

“Kami tahu para pekerja sudah khawatir bahwa beberapa perusahaan menggunakan teknologi ini. Chip mikro jelas mengurangi hak privasi karyawan," kata O'Grady. Selain BioHax, BioTeq Limited juga telah menyuntikkan chip mikro ke 150 karyawan dari perusahaan yang berbasis teknologi keuangan atau fintech di negeri Ratu Elizabeth II tersebut.