Tetap Mengandalkan Daya Beli Masyarakat
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA Digital – Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK melanda sejumlah perusahaan rintisan atau startup di Indonesia.
Hal ini menjadi perhatian serius Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi. Penurunan investasi startup dunia akan berdampak ke pengembangan bisnis digital di Tanah Air sehingga banyak startup didorong untuk IPO.
Untuk industri telekomunikasi, ia menilai, bisnis digital yang satu ini menarik. Oleh karena itu, sebaiknya, PHK jangan terlalu besar karena efeknya dominonya ke daya beli masyarakat.
"Indonesia secara fundamental digitalnya kuat karena pengguna riil mencapai 30 juta orang. Pengguna internetnya pun rata-rata menghabiskan 8 jam 3 menit. Infrastruktur jaringan juga penting untuk menyokong ekonomi digital, seperti Palapa Ring hingga BTS 4G di 8.000 desa," kata Heru di Jakarta, belum lama ini.
Pada kesempatan yang sama, Analis Indef Nailul Huda menyebut Indonesia kemungkinan besar tidak akan masuk resesi, namun ke perlambatan ekonomi di 2023. Bahkan, Indonesia bisa menjadi episentrum ekonomi di tengah perlambatan ekonomi global pada tahun depan.
"Tahun 2021 investasi digital di Indonesia Rp144 triliun. Banyak sekali startup digital dapat dana fantastis. Misalnya, untuk pendidikan ada Ruangguru dapat dana sehingga eskpansi besar. Tapi sayangnya tidak untuk tahun ini," ungkapnya.
Ia melanjutkan, saat cost investment meningkat gara-gara cost of fund, maka investasi digital di Tanah Air turun lebih dari 50 persen atau hanya Rp53,58 triliun per November 2022.
"Kalau startup masih mengandalkan pendanaan, maka cashflow terancam sehingga melakukan efisiensi dengan PHK," tegas Huda. Lantas, bagaimana Indonesia bisa menjadi episentrum ekonomi dunia?
Senada dengan Heru Sutadi, menurutnya, penting untuk menjaga daya beli masyarakat terkait konsumsi digital. Sebab, 50 persen ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi sehingga harus fokus menjaga daya beli.