IMF Biang Kerok Mati Surinya Industri Penerbangan Indonesia

Pesawat N-250.
Sumber :
  • IPTN

VIVA.co.id – Lembaga Bantuan Keuangan Internasional (IMF) dituding menjadi penyebab mati surinya industri penerbangan Indonesia.

Sebab, di dalam nota kesepakatan (letter of intent) yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998, pemerintah/APBN dilarang menggelontorkan dana untuk IPTN (sekarang PTDI).

"Kalau saya tidak salah itu di butir 13. Seperak pun rupiah tidak boleh dikucurkan. Mati surilah IPTN. Padahal, kita saat itu sedang mengujicoba terbang pesawat N-250 Gatot Kaca," kata Jusman Syafii Djamal kepada VIVA.co.id, Kamis, 10 Agustus 2017.

Lebih lanjut, mantan Menteri Perhubungan ini mengungkapkan, N-250 membutuhkan jam terbang minimal 2.000 jam untuk mendapatkan sertifikat Federal Aviation Administration (FAA) dari Amerika Serikat.

"Pesawat N-250 sudah punya 800 jam terbang. Dijegal IMF, semuanya berantakan," ungkap Jusman, yang kini menjabat Komisaris Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, menegaskan.

Ia juga menyatakan, industri penerbangan nasional kala itu sudah siap menjadi system interogator. Artinya, Jusman menuturkan, Indonesia mampu menghasilkan pesawat terbang secara utuh.

"Kita bisa bersanding dengan Airbus dan Boeing. Bisa bikin, uji coba sampai ekspor pesawat terbang," ujar dia.

Saat ini, industri penerbangan tengah bangkit, di mana pesawat Regio Prop (R80) direncanakan akan beredar di pasar Indonesia pada 2023.

Menurut Jusman, pesawat komersial yang dibuat oleh PT Regio Aviasi Industri, PT Ilthabi Rekatama, PT Eagle Capital bersama PT Dirgantara Indonesia, itu jenis turboprop.

Ia pun mendukung pembuatan R-80 sehingga bisa bersaing dengan beberapa negara yang masih membuat pesawat jenis serupa. "Pada Hari Teknologi Nasional ini, industri penerbangan kita harus bangkit dari ketertinggalan," papar Jusman.