2016, Penjahat Siber Lebih Suka Serang Sektor Ritel

us cyber
Sumber :

VIVA.co.id – Penjahat di dunia maya disinyalir tidak lagi tertarik menerobos sistem perbankan. Mereka kini cenderung lebih suka menerobos sistem perusahaan-perusahaan sektor ritel.

Demikian ungkap NTT Group dalam laporan riset terbarunya yang bertajuk NTT 2016 Global Threat Intelligence Report. Dalam laporan itu ditemukan jika perusahaan di sektor ritel mengalami serangan siber tiga kali lipat dibanding sektor keuangan atau perbankan.

"Tahun lalu riset menemukan jika sektor keuangan merupakan target utama serangan siber. Kini level serangan yang diarahkan ke sektor keuangan turun drastis ke posisi 14," jelas CEO Dimension Data, Hendra Lesmana, yang merupakan anggota NTT Group, dalam keterangan resminya, Rabu, 18 Mei 2016.

Riset tahunan ini, kata Hendra, merangkum ancaman keamanan yang terekam selama tahun 2015 dari 8,000 klien perusahaan keamanan NTT Group. Selain Dimension Data, anggota NTT Group lainnya seperti Solutionary, NTT Com Security, NTT R&D, dan NTT Innovation Institute (NTTi3).

"Data tahun ini berdasarkan pada 3.5 triliun security logs dan 6.2 miliar serangan. Data juga dikumpulkan dari 24 pusat operasional keamanan dan tujuh pusat penelitian dan pengembangan dari NTT Group," papar Hendra.

Laporan itu menyebutkan sektor ritel menduduki posisi teratas daftar serangan keamanan cyber dari semua sektor dengan prosentase di bawah 11 persen dalam laporan tahun ini, menggantikan posisi sektor keuangan.

"Sektor ritel dan keuangan memproses informasi pribadi dan kartu kredit dalam jumlah yang sangat besar. Mendapatkan akses ke perusahaan-perusahaan ini memungkinkan penjahat dunia maya untuk menguangkan data sensitif, seperti rincian kartu kredit di pasar gelap," kata Hendra.

Lebih lanjut dijelaskan, dalam laporan tersebut, 65 persen dari total serangan yang ada berasal dari alamat IP yang berada di Amerika Serikat. Selain itu, penjahat dunia maya menerapkan prinsip low-cost, siap siaga, dan memiliki infrastruktur strategis secara geografis guna melakukan tindak kejahatannya.

"Penjahat siber semakin banyak menggunakan malware untuk menjebol pertahanan dari perusahaan. Di tahun 2015 terjadi peningkatan malware sebesar 18 persen di seluruh industri, terkecuali sektor pendidikan," lanjut Hendra.

(ren)