Begini Tata Cara Pemblokiran yang Ideal?
- staztic.com
VIVA.co.id – Kasus pemblokiran layanan Netflix oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Salah satu perdebatannya mengenai cara pemblokiran atas layanan streaming film dan acara TV asal California, Amerika Serikat tersebut.
Direktur Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto menyoroti soal tata cara pemblokiran yang berlaku di Indonesia. Menurutnya, landasan untuk pemblokiran di internet, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 Tahun 2014, masih lemah dan bermasalah. Aturan tersebut melegalkan blokir di Indonesia dan kewenangannya, serta mekanismenya tidak jelas.
Dalam aturan tersebut, sebuah operator atau penyedia layanan internet bisa memblokir website, atau penyedia layanan tertentu. Damar juga menyoroti aturan landasan pemblokiran yang berupa peraturan menteri, bukan undang-undang.
"Seharusnya ini diatur dalam undang-undang, sehingga semua pihak dan ada mekanisme hukum yang jelas," kata dia kepada VIVA.co.id, Kamis 28 Januari 2016.
Damar berpendapat idealnya, dalam aturan pemblokiran memuat ketentuan meliputi siapa yang berwenang memblokir, tata cara pemblokiran dan pemulihan pemblokiran serta ganti rugi.
Untuk poin siapa yang berwenang memblokir, Damar mengatakan pada banyak negara, pemblokiran diputuskan oleh sebuah badan independen. Badan ini terdiri dari komponen kepolisian, tentara, kesehatan, industri, perempuan, akademisi, perlindungan anak, yang berkepentingan untuk menyaring daftar blokir yang disediakan pemerintah dan menambah bila diperlukan.
Praktik badan ini, tentunya harus adil dan terbuka. Negara yang mempraktikkan konsep ini adalah Pakistan.
"Pakistan Telecommunication Authority misalnya, terdiri dari multi stakeholder dan semua keputusan dibuat terbuka, tidak diskriminatif, transparan, dan konsisten," ujar dia.
Terkait tata cara pemblokiran, menurut Damar, sebaiknya melibatkan proses di lembaga peradilan, yang mana akan menguji sah, atau tidak pemblokiran tersebut. Dalam tahap ini, ada dua mekanisme, yaitu pemberitahuan dan pembelaan diri bagi website yang menjadi objek pemblokiran.
"Jadi, ada mekanisme: due notice (pemberitahuan) bagi pihak yang diblokir dan kesempatan membela diri di muka pengadilan bila merasa blokirnya merugikan," tambahnya.
Dengan adanya peraturan tersebut, tercatat di Pakistan untuk memblokir 400 ribu website harus melalui keputusan Mahkamah Agung.
Hal penting lainnya, adalah poin soal pemulihan dan ganti rugi. Mengapa ini penting, menurut Damar, untuk memastikan proses pemblokiran tidak merugikan dan memberikan sebuah kompensasi, jika memang ternyata pemblokiran tersebut tidak sah.
"Karena, bisa saja ada salah blokir dan orang yang dirugikan, maka harus jelas juga prosesnya: pengadilan perdata bisa ditempuh bagi yang dirugikan dan bila menang maka blokir harus dibuka," kata dia.
Nah, terkait dengan tata cara pemblokiran yang dijalankan di Indonesia, Damar mendesak perlu ada perubahan, yaitu mengatur landasan pemblokiran menjadi selevel undang-undang.
"Batalkan Permen blokir lama dan buat UU baru yang lebih komprehensif mengatur blokir. Dan kedua, Tim panel blokir harus didorong untuk menjadi badan independen," kata dia.
Diketahui dalam memblokir sebuah website, Kominfo sudah membentuk Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (PSIBN).
Forum PSIBN ini akan melibatkan beragam pemangku kepentingan (multi-stakeholders) sebagai perwujudan partisipasi masyarakat. Pihak tersebut yakni, para tokoh agama, budaya, pendidik, sosiolog, dan para ahli di bidangnya, serta dari komunitas dan organisasi masyarakat.
Pembentukan Forum PSIBN, lanjut Ismail, dimaksudkan untuk memberikan masukan dan rekomendasi penanganan situs internet bermuatan negatif.
Masukan itu disampaikan kepada pemerintah, dan memberikan analisas yang tepat, disertai verifikasi atas pengaduan masyarakat. Forum tersebut memberikan masukan kepada Menkominfo dalam hal situs negatif untuk kemudian dilakukan eksekusi pemblokiran. (asp)