Soal OTT, Menkominfo Diminta Jangan Pakai Gaya Pebisnis
Jumat, 12 Juni 2015 - 11:28 WIB
Sumber :
- REUTERS/Dado Ruvic
VIVA.co.id - Menkominfo Rudiantara berencana menantang laju perusahaan Over The Top (OTT) asing dengan menghadirkan pesaing berupa OTT lokal. Namun hal ini dianggap pengamat sebagai sebuah langkah yang salah.
Menurut pengamat telekomunikasi Indotelko Forum, Doni Darwin, Menkominfo seharusnya bisa berpikir layaknya seorang regulator. Pasalnya, telekomunikasi Indonesia dirasa sudah memiliki aturan yang bisa digunakan untuk memperketat kehadiran OTT asing, seperti WhatsApp, Google, Facebook, Twitter, Amazon, dan lainnya.
"Rudiantara harus berhenti menggunakan strategi ala pengusaha dalam meregulasi OTT. Jelas-jelas ada aturan yang dia punya, yakni Peraturan Pemerintah tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kalau dia terus bicara dengan gaya pebisnis, tak akan membantu OTT lokal dan OTT asing akan terus berjaya," ujar Doni kepada Viva.co.id, Jumat 12 Juni 2015.
Menurut alumni S2 Ilmu Komunikasi Universitas Trisakti ini, dalam peraturan pemerintah No.82 Tahun 2012 (PP PSTE) ditegaskan adanya kewajiban registrasi dan penempatan data center bagi perusahaan teknologi yang menggarap pasar Indonesia. Dari situ, keberadaan OTT asing bisa diperketat.
Salah satu yang bisa ditiru dari negara lain, menurut dia, adalah langkah Eropa yang memperketat dengan jelas aturan pajak bagi OTT asing. Bahkan, kata dia, Amazon pun takluk dan setuju untuk membayar pajak.
"Jadi. Kalo Chief RA [Rudiantara] mau jadi pebisnis ya silahkan. Tapi dia sekarang regulator, harus memposisikan diri sebagai regulator," ujar Doni.
Dikatakannya, jika belajar dari Eropa yang bisa memperketat kehadiran OTT asing, Indonesia pun bisa menerapkannya. Jika tidak, dia yakin, Indonesia akan terus menerus menjadi pasar.
"Ini karena menterinya belum bisa melepas baju pebisnisnya," tegasnya. (ren)
Baca Juga :
Menurut pengamat telekomunikasi Indotelko Forum, Doni Darwin, Menkominfo seharusnya bisa berpikir layaknya seorang regulator. Pasalnya, telekomunikasi Indonesia dirasa sudah memiliki aturan yang bisa digunakan untuk memperketat kehadiran OTT asing, seperti WhatsApp, Google, Facebook, Twitter, Amazon, dan lainnya.
"Rudiantara harus berhenti menggunakan strategi ala pengusaha dalam meregulasi OTT. Jelas-jelas ada aturan yang dia punya, yakni Peraturan Pemerintah tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Kalau dia terus bicara dengan gaya pebisnis, tak akan membantu OTT lokal dan OTT asing akan terus berjaya," ujar Doni kepada Viva.co.id, Jumat 12 Juni 2015.
Menurut alumni S2 Ilmu Komunikasi Universitas Trisakti ini, dalam peraturan pemerintah No.82 Tahun 2012 (PP PSTE) ditegaskan adanya kewajiban registrasi dan penempatan data center bagi perusahaan teknologi yang menggarap pasar Indonesia. Dari situ, keberadaan OTT asing bisa diperketat.
Salah satu yang bisa ditiru dari negara lain, menurut dia, adalah langkah Eropa yang memperketat dengan jelas aturan pajak bagi OTT asing. Bahkan, kata dia, Amazon pun takluk dan setuju untuk membayar pajak.
"Jadi. Kalo Chief RA [Rudiantara] mau jadi pebisnis ya silahkan. Tapi dia sekarang regulator, harus memposisikan diri sebagai regulator," ujar Doni.
Dikatakannya, jika belajar dari Eropa yang bisa memperketat kehadiran OTT asing, Indonesia pun bisa menerapkannya. Jika tidak, dia yakin, Indonesia akan terus menerus menjadi pasar.
"Ini karena menterinya belum bisa melepas baju pebisnisnya," tegasnya. (ren)