Ada Cara Lain yang Lebih Efektif Tanpa Harus Menambah Beban

Ilustrasi pajak.
Sumber :
  • Pixabay

Jakarta, VIVA – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, dan rencana 12 persen pada 1 Januari 2025, diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 7 ayat (1).

Data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebut sebagian besar tenaga kerja Indonesia (lebih dari 50 juta orang) berpendidikan rendah, dengan daya beli terbatas.

Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN akan menambah beban mereka, mengurangi daya beli, dan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi.

Pemerintah didesak bukan sekadar mengundur tapi membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen.

Sebagai alternatif, sistem perpajakan berbasis sistem monitoring self-assessment diterapkan untuk menjaga penerimaan negara, sekaligus menurunkan tarif PPN kembali ke 10 persen.

Di mata Hadi Poernomo, korupsi dan penghindaran pajak memiliki karakteristik yang sama, yaitu timbul karena adanya kesempatan.

Prinsip self-assessment yang mengandalkan kejujuran Wajib Pajak (WP), berpotensi menimbulkan pelaporan pajak dengan tidak benar dan jelas.

Dalam sistem self-assessment, WP diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan kepada otoritas pajak.

"Saya mengusulkan sistem monitoring self-assessment, di mana seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan, sehingga pajak bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara tapi juga alat strategis memberantas korupsi dan melunasi seluruh utang negara," kata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Periode 2009-2014.

Untuk diketahui, sistem monitoring self-assessment dirancang untuk menghimpun data dari berbagai sumber yang akan disatukan dengan konsep berbasis link and match, sehingga negara mampu menguji SPT Wajib Pajak serta memungkinkan pemetaan penerimaan negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang bersifat legal maupun ilegal.

Sistem ini dapat memastikan setiap laporan pajak mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya, meminimalkan kebocoran penerimaan pajak, meningkatkan kepercayaan publik, dan optimalisasi penerimaan negara tanpa menaikkan tarif. Dengan pengawasan ini maka tarif PPN dapat kembali menjadi 10 persen tanpa mengurangi penerimaan negara.

Bukan itu saja. Hadi juga menyoroti inkonsistensi regulasi sebagai hambatan utama pengawasan pajak yang efektif. Hal ini menyebabkan munculnya aturan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum atau pembatasan nilai yang tidak relevan.

Ia mengusulkan agar fokus utama dalam perbaikan sistem perpajakan adalah pada penyelarasan peraturan-peraturan yang ada agar lebih konsisten dan terintegrasi.

Selain itu, penting juga untuk mengembangkan dan memperkuat alat monitoring yang memungkinkan otoritas pajak dapat memverifikasi pelaporan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga prinsip self-assessment dapat dijalankan dengan lebih efektif dan akuntabel.

"Kalau sistem ini diterapkan maka keadilan perpajakan akan terwujud. Petugas pajak tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Ini adalah kunci untuk menciptakan keadilan pajak. Bukan menaikkan tarif yang jadi solusi," jelas dia.