Mengungkap Potensi Besar Energi Bersih di Indonesia

Ilustrasi energi terbarukan / ramah lingkungan.
Sumber :
  • Perfect Sense Energy

Jakarta, VIVA – Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan kajian terbarunya berupa 'Dasbor Pembiayaan Pembangkit Listrik' di Indonesia. Dasbor interaktif ini memetakan seluruh investasi untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) Vs bahan bakar fosil di Indonesia, serta pendanaan yang mengalir melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Dikembangkan dengan metode triangulasi berupa konsolidasi dataset dari berbagai sumber resmi, dasbor ini menjawab permasalahan akses dan transparansi data investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Fitur interaktif dasbor ini juga memudahkan dalam melihat arus investasi berdasarkan sumber, penggunaan tematik, dan alokasi sektoral sehingga pemangku kepentingan pemerintah dan industri terkait dapat mengidentifikasi titik masuk investasi, kesenjangan pembiayaan, peluang investasi baru, serta perencanaan strategis terkait agenda transisi energi Indonesia menuju emisi nol bersih.

Meskipun ada gap yang signifikan antara realisasi nilai investasi EBT dan komitmen iklim Indonesia, temuan kunci tersebut juga menunjukkan peluang strategis mengalihkan arus investasi menuju perekonomian berkelanjutan dan rendah karbon.

Menurut Direktur CPI Indonesia, Tiza Mafira, Indonesia memerlukan visibilitas mengenai apakah kebijakan energi saat ini sudah cukup mempercepat investasi hijau. Data menunjukkan bahwa total investasi pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil hampir dua kali lipat dari total investasi pada pembangkit listrik EBT.

Ia menyebut, ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar.

"Dengan memanfaatkan data investasi yang komprehensif di dasbor kami, kebijakan dan investasi dapat dioptimalkan untuk membangun masa depan yang aman, kompetitif, dan rendah karbon bagi Indonesia," jelas Tiza di Jakarta, Jumat, 22 November 2024.

Berikut temuan kunci dasbor mengenai tren investasi kelistrikan di Indonesia:

• Rata-rata investasi untuk EBT per tahun (2019-2021) adalah sebesar US$2,2 miliar, terpaut jauh dari kebutuhan pendanaan sebesar US$9,1 miliar per tahun hingga 2030 untuk mencapai target iklim Indonesia seperti tercantum pada dokumen ENDC Indonesia.

• Investasi yang mengalir ke EBT juga masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar sebesar US$3,7 miliar per tahun.

• Sebanyak 94 persen pendanaan bahan bakar fosil berasal dari investor swasta (84 asing dan 10 domestik). Hal ini menunjukkan tren mengkhawatirkan pelonjakan investasi fosil dari swasta, terutama modal asing.

• Membandingkan efisiensi keseluruhan portfolio energi PLN, biaya operasional (di luar biaya depresiasi) pembangkit istrik berbahan bakar fosil per unit produksi cukup 
tinggi, antara lain diesel (Rp2.211 per Kwh), gas (Rp1.402 per Kwh), dan batu bara (Rp526 per Kwh).

• Biaya operasional per unit produksi portfolio PLN (di luar biaya depresiasi) untuk EBT relatif lebih rendah, antara lain panas bumi (Rp924 per Kwh), air (Rp104 per Kwh), dan tenaga surya (Rp1.347 per Kwh).

• Simulasi biaya operasional (di luar biaya depresiasi) per unit produksi PLTU batu bara tanpa kebijakan subsidi dengsn skema DMO (domestic market obligation/wajib pemenuhan domestik) menghasilkan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi, yaitu sebesar Rp1.013 per Kwh.

• PLN berpeluang menurunkan biaya operasional per unit produksi tenaga surya menjadi Rp296 per Kwh dengan meningkatkan faktor kapasitas pembangkit tenaga suryanya menjadi empat kali lebih tinggi, sehingga setara dengan rata-rata faktor kapasitas pembangkit tenaga surya di Asia Tenggara.