Sisi Gelap Transformasi Digital

Ilustrasi sisi gelap transformasi digital.
Sumber :
  • This is Amos

Jakarta, VIVA – Berkat teknologi, masyarakat semakin dimudahkan untuk mengakses informasi di mana pun dan kapan pun. Namun, di balik kemudahan ini ada bahaya mengintai seperti serangan siber dan penipuan online.

Salah satu kemajuan teknologi yang mencuri perhatian saat ini adalah munculnya kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (GenAI), yakni sebuah teknologi pembelajaran mesin (machine learning) yang mampu menciptakan beragam jenis konten, mulai dari teks, gambar, hingga musik.

Kendati GenAI menawarkan banyak manfaat dan inovasi, namun juga membawa tantangan. Tidak seperti revolusi teknologi sebelumnya yang berdampak terhadap pekerja kasar (blue collar) seperti mesin produksi massal, kecerdasan buatan generatif menyasar profesi pekerja kantoran (white collar), termasuk pemrograman dan layanan hukum.

Selain itu, teknologi ini juga membuka peluang terjadinya penipuan online, termasuk deepfakes – sebuah teknologi yang dapat memanipulasi gambar, video dan suara dengan kemiripan yang sangat meyakinkan.

Kejahatan siber telah berkembang menjadi sebuah model bisnis layaknya perusahaan-perusahaan pada umumnya.

Indonesia menghadapi jumlah serangan siber yang mencengangkan, atau mencapai 279,84 juta pada 2023, menurut data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hal ini menyoroti tingkat ancaman siber yang cukup tinggi.

Peretas atau hacker berhasil membobol data pribadi.

Photo :
  • BankInfoSecurity

Pakar keamanan siber Mikko Hyppönen mengupas tuntas sisi gelap dari transformasi digital. Ia membagikan strategi efektif untuk menghadapi ancaman siber yang muncul dari lanskap digital yang terus berkembang.

"I love the internet. Dulu, serangan siber ditransfer secara fisik dari satu komputer ke komputer lain, atau biasa disebut ‘floppy disk’. Saat ini, kita sedang menghadapi perubahan besar dan pergeseran teknologi yang sangat signifikan," ungkapnya, Kamis, 19 September 2024.

Dalam lanskap keamanan siber, Mikko menyampaikan bahwa serangan siber kini tidak lagi dilakukan oleh individu, melainkan oleh kelompok-kelompok kriminal yang sangat terorganisir.

Kelompok-kelompok ini memanfaatkan teknologi terbaru, menyesuaikan serangan, dan membentuk kemitraan strategis untuk memaksimalkan keuntungan material.

Jika organisasi kriminal ini adalah perusahaan yang sah, menurut Mikko, maka mereka akan dianggap sebagai unicorn karena pendapatan, profitabilitas, dan pertumbuhannya yang sangat signifikan.

Namun, berbeda dengan perusahaan teknologi yang sukses, di mana organisasi ini tidak akan pernah melantai di bursa saham atau mencari strategi keluar.

"Situasi tersebut menekankan betapa besar skala masalah kejahatan siber saat ini," paparnya.

Ia melanjutkan kalau kelompok kriminal peduli akan branding dan mulai membangun citra mereka dengan nama, situs web, dan logo. Hal itu mencerminkan betapa besarnya kehadiran mereka dalam lanskap kriminal global.

"Makanya, penting bagi perusahaan untuk mengadopsi solusi canggih guna mengatasi ancaman yang dapat membahayakan operasi mereka dan mengancam keamanan pelanggan mereka," jelas Mikko.