Konsumen Hati-hati Terjerat AI-Washing

Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Sumber :
  • Science HowStuffWorks

Jakarta, VIVA – Tingginya minat terhadap aplikasi kecerdasan buatan mengundang praktik nakal perusahaan multinasional untuk memasarkan produk dengan label AI (artificial intelligence), tanpa mengandung teknologi terkait. Kenapa fenomena ini dianggap merugikan?

Bayangkan jika Anda membeli robot penyedot debu dengan harga lebih mahal karena iming-iming teknologi kecerdasan buatan. Padahal, produk terkait cuma memiliki sebuah sensor sederhana untuk mencegah robot menabrak perabotan.

Teknologi AI belakangan ramai dipasarkan di berbagai produk demi menarik minat konsumen atau sebagai alasan menaikkan harga jual, meski cuma menggunakan teknik sederhana.

Layaknya greenwashing, pemasaran menyesatkan dengan iming-iming AI dianggap bisa mendistorsi pasar dan mengancam kelangsungan bisnis perusahaan teknologi.

Pemasaran yang menyesatkan soal aplikasi AI dikhawatirkan bisa menghambat pengembangan teknologi, dan menyulitkan pasar mendeteksi terobosan secara dini.

Christoph Lütge dari Institut Etika Kecerdasan Buatan yang berpusat di Muenchen, Jerman, mengatakan karena istilah AI digunakan dengan cara yang sangat beragam, perusahaan terdorong untuk membuat klaim tak berdasar.

"Tantangannya adalah sulit untuk menangani pemasaran menyesatkan dengan AI dari sudut pandang hukum karena istilahnya terlalu samar. Dari sudut pandang etika, situasinya berbeda. Sebaiknya memang ada pakar yang bisa membimbing badan regulasi dan masyarakat sipil dari sudut pandang etika," ungkapnya kepada DW.

Maraknya AI-Washing juga menjadi masalah bagi para investor karena menciptakan kebisingan yang mengacaukan orientasi pasar.

Perusahaan juga bisa terdorong untuk membidik tujuan yang mustahil karena terlalu mempercayai teknologi tersebut.

Awal tahun ini, Komisi Sekuritas dan Bursa AS, SEC, mengumumkan penyelesaian tuntutan terhadap dua perusahaan investasi, Delphia dan Global Predictions, karena membuat pernyataan palsu dan menyesatkan tentang dugaan penggunaan kecerdasan buatan.

Kedua perusahaan sepakat untuk menyanggupi tuntutan SEC di luar sidang dan membayar denda perdata total sebesar US$400 ribu (Rp6,4 miliar).

Menurut SEC, Delphia yang berkantor pusat di Toronto, Kanada, membuat klaim palsu bahwa mereka 'menggunakan data kolektif untuk membuat teknologi kecerdasan buatan miliknya lebih andal sehingga dapat memprediksi perusahaan dan tren mana yang akan menjadi besar dan berinvestasi di dalamnya sebelum orang lain'.

Padahal, sebenarnya mereka tidak memiliki kemampuan AI dan pembelajaran mesin seperti yang diklaim.

Dalam kasus lain, Global Predictions yang berkantor pusat di San Francisco, AS, secara keliru mengeklaim di situs web dan media sosialnya bahwa mereka adalah 'penasihat keuangan AI teregulasi pertama' dan secara keliru menyatakan bahwa platform mereka menyediakan 'perkiraan yang didorong oleh para ahli'.

"Kami melihat berkali-kali bahwa ketika teknologi baru muncul maka menciptakan kehebohan dari investor serta klaim palsu oleh mereka yang mengaku menggunakan teknologi tersebut. Penasehat investasi tidak boleh menyesatkan publik dengan mengatakan bahwa mereka menggunakan model AI padahal tidak. AI-Washing merugikan investor," tegas Ketua SEC Gary Gensler dalam sebuah pernyataan pers.

Perusahaan besar seperti Coca-Cola dan Amazon juga menghadapi reaksi keras karena diduga terlibat dalam apa yang disebut AI-Washing. Perusahaan pertama meluncurkan produk Coca-Cola Y3000 pada September 2023, yang, katanya, dibuat dengan bantuan AI.