Indonesia Diminta Belajar dari Inggris dan Turki
- Dignited
VIVA Tekno – Layanan OTT (over the top), atau layanan streaming yang menayangkan konten di internet, harus diregulasi untuk menghadirkan persaingan sehat di industri telekomunikasi Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi.
"Regulasi terkait dengan OTT menjadi hal yang begitu dinantikan, termasuk pelaku industri telekomunikasi," kata dia di Jakarta, Rabu, 27 Desember 2023. Heru mengatakan bahwa industri telekomunikasi telah mengalami disrupsi yang cukup dalam seiring hadirnya layanan OTT.
Ia mencontohkan semakin turunnya trafik layanan SMS atau panggilan suara (voice) yang kini digantikan oleh penyedia layanan OTT seperti WhatsApp, X, Instagram, atau bahkan Telegram.
Menurutnya, saat ini mayoritas layanan komunikasi lebih mengandalkan platform OTT, yang menggunakan infrastruktur yang disediakan operator telekomunikasi.
Perubahan itu berdampak kepada posisi operator telekomunikasi yang sekarang cenderung menjadi penyedia infrastruktur tanpa mendapatkan manfaat keuangan yang sebanding.
Selain itu, kata Heru Sutadi, layanan OTT hingga saat ini tidak dikenakan pungutan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti halnya penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi.
"Jangankan PNBP, mereka yang tidak memiliki badan usaha tetap di Indonesia sehingga tidak membayar PPh (pajak penghasilan)," tegasnya.
Padahal, ia melanjutkan, potensi pemasukan negara dari pungutan terhadap layanan OTT sangat besar. Oleh karena itu, Heru menilai pentingnya pengaturan terhadap layanan OTT untuk memastikan adanya keseimbangan yang adil dan berkelanjutan di antara pelaku industri telekomunikasi dan OTT.
"Jadi, sayang sekali kalau pajaknya itu hanya dibebankan ke industri telekomunikasi, sementara OTT tidak. Indonesia bisa belajar dari sejumlah negara seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Portugal, Spanyol, Turki, dan Inggris yang telah menerapkan Digital Services Task (DST) untuk layanan OTT," jelas Heru Sutadi.