Mengubur Karbondioksida di Bawah Tanah

Ilustrasi emisi karbon.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA Tekno – Penangkapan karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCUS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global yang bekerja dengan cara mengurangi emisi karbondioksida (CO2) ke atmosfer.

Indonesia tercatat sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang peraturan untuk mendorong penangkapan, penyimpanan, serta pemanfaatan karbondioksida pada kegiatan usaha.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 2 Tahun 2023. Perusahaan multinasional asal Amerika Serikat (AS), Honeywell International Inc, menghadirkan teknologi ini untuk mendukung operasional industri beremisi tinggi di Tanah Air.

Teknologi dan solusi CCUS yang dihadirkan Honeywell, termasuk manajemen emisi dari hulu hingga hilir bagi industri-industri beremisi tinggi, seperti minyak dan gas, energi, baja, semen, kilang, bahan kimia, dan petrokimia.

Pelaku industri dapat mendeteksi, mengukur, memantau, serta memitigasi lebih dari 20 gas rumah kaca. Saat ini, perusahaan-perusahaan mancanegara yang menggunakan teknologi CCUS Honeywell sanggup menangkap 40 juta ton CO2 per tahun, atau setara dengan emisi lebih dari 8,6 juta mobil.

Ilustrasi rumah efek kaca.

Photo :
  • U-Report

"Penangkapan karbon sebelum atau sesudah proses pembakaran industri dapat membantu mengurangi efek gas rumah kaca. Nah, teknologi kami dapat menangkap emisi karbondioksida. Mulai dari proses industri hingga menyimpannya di bawah tanah," kata Presiden Honeywell Asia Tenggara dan Chief Commercial Officer High Growth Regions Steven Lien di Jakarta.

Ia melanjutkan, emisi karbondioksida tersebut dapat digunakan untuk beragam aplikasi, seperti pengambilan minyak Bumi atau menjadi bahan baku untuk produksi bahan bakar sintetis berkelanjutan. Steven juga memaparkan sejumlah keunggulan teknologi dan solusi CCUS dari Honeywell.

Pertama, pelarut kimia, seperti AmineGuard Process, AmineGuard FS Process, dan Benfield ACT-1. Teknologi tersebut menggunakan beragam pelarut monoethanolamine yang mampu menangkap CO2.

Kedua, pelarut Selexol Process. Teknologi ini menangkap CO2 dengan menggunakan material penyerap (adsorbent). Ketiga, proses Kriogenik dan penggunaan membrane, seperti sistem Separex dan Fraksinasi CO2 Ortloff.

Teknologi Kriogenik menangkap CO2 dengan mendinginkan dan mengeringkan gas buangan di corong industri. Sedangkan, teknologi membran mengambil karbondioksida dengan cara pelarutan dan pembauran melalui filter pemisah yang solid," papar dia.

Ilustrasi karbondioksida/CO2.

Photo :
  • Freepik

Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Ketua Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Luky Yusgiantoro mengatakan, Indonesia memiliki banyak sumber industri CO2, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, pengolahan gas alam, kilang minyak, dan pabrik kimia.

Seiring dengan banyaknya sumber daya penyimpanan geologis tersebut, lanjut Luky, potensial dioptimalkan menjadi lokasi penangkapan karbon. Adapun sejumlah proyek terkait telah dimulai. Bahkan, sebagian besar ditargetkan mulai beroperasi sebelum 2030.

"Indonesia memiliki formasi geologi yang dapat digunakan untuk menyimpan karbon secara permanen dengan menggunakan teknologi yang tepat. Dekarbonisasi industri hulu dan berat merupakan langkah penting untuk mewujudkan target net zero emission (NZE) Indonesia tahun 2060," jelasnya.

Adapun Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 bertujuan untuk memotivasi sekaligus memfasilitasi industri hulu di Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. "SKK Migas secara konsisten berperan aktif dalam penerapan CCS/CCUS di Indonesia di wilayah kerja hulu migas," kata Luky.