Asia Belum Antisipasi Bahaya AI
- pixabay.com
VIVA Tekno – Teknologi AI (artificial intelligence/kecerdasan buatan) generatif, seperti ChatGPT buatan OpenAI dan Bard yang merupakan produk Google tengah menjadi tren.
Sekitar 32 persen organisasi Asia Pasifik yang disurvei menyatakan komitmen mereka untuk berinvestasi dalam teknologi terbaru itu, menurut survei IDC.
Selain itu ditemukan juga 38 persen responden mengeksplorasi usecase untuk diimplementasikan menggunakan AI Generatif.
Adapun tujuan dari penggunaannya adalah untuk meningkatkan kecerdasan perusahaan dan mendorong efisiensi di seluruh fungsi seperti pemasaran, penjualan, layanan pelanggan, penelitian dan pengembangan, desain, manufaktur, rantai pasokan, dan keuangan.
Pertama-tama teknologi akan dimanfaatkan untuk akses dan pencarian di seluruh informasi dari berbagai jenis gambar, dokumen, suara, dan format lain di seluruh perusahaan.
Kasus penggunaan kedua adalah untuk pembuatan koding pemrogram aplikasi untuk membuat, mengoptimalkan, menyelesaikan, serta menguji dan men-debug kode, yang mengarah ke peningkatan produktivitas pemrogram dan kualitas kode yang dikembangkan.
AI Generatif juga diperuntukkan untuk otomatisasi pemasaran, seperti aplikasi percakapan, di mana pemasar tidak hanya dapat menghasilkan konten pemasaran yang sangat disesuaikan tetapi juga membuat konten yang dioptimalkan mesin pencari.
"Namun kompleksitas dan risiko yang melekat di sekitar implementasi kebutuhan yang sama harus dinilai dengan hati-hati," kata Kepala Riset, Big Data & AI Riset IDC Asia/Pasifik termasuk Jepang (APJ), Deepika Giri dalam konferensi pers virtual, Kamis, 25 Mei 2023.
Dia melanjutkan, AI generatif juga sebagian besar masih dalam tahap awal karena vendor tidak dapat sepenuhnya menangani masalah privasi, keamanan, akurasi, hak cipta, bias, dan penyalahgunaan seputar teknologi inovatif ini.
Ada berbagai vendor yang ingin raih peluang untuk menjadi yang terdepan dalam gelombang teknologi ini, mulai dari hyperscaler dan penyedia layanan cloud yang menawarkan Model As A Service (MaaS), perusahaan rekayasa AI hingga menjual infrastruktur yang dapat dihosting.
Meski begitu masih ada kekhawatiran global yang berkembang pada penerapan AI generatif yang sebagian besar berjalan tanpa regulasi.
Seharusnya ada badan yang mengatur untuk mengatasi masalah seputar privasi dan keamanan data, hak IP, dan potensi penyalahgunaan konten yang dihasilkan AI. Ada baiknya pemerintah mematuhi kebijakan yang ada di sekitar area ini daripada merumuskan yang baru.
Pemerintah India telah memutuskan untuk menentang peraturan AI karena menganggap AI sebagai pendukung ekonomi digital dan undang-undang yang ketat pada tahap ini akan menyebabkan mati rasa terhadap inovasi dan penelitian.
Sementara pemerintah Jepang telah membentuk sebuah dewan yang bermaksud untuk mempromosikan teknologi AI untuk memenuhi minat global terhadap subjek tersebut.
Cyberspace Administration of China (CAC) telah meluncurkan penilaian keamanan dan dampak layanan AI generatif sebelum diluncurkan ke publik.
Terlepas dari kekhawatiran yang disebutkan sebelumnya, Giri belum melihat bentuk undang-undang apa pun untuk AI generatif di Asia/Pasifik karena dapat dipandang sebagai penghambat semangat inovasi dalam ekonomi digital yang progresif.
"Sebagian besar negara berada pada berbagai tahap dalam mengembangkan pandangan mereka terhadap regulasi AI dan oleh karena itu ada kekurangan pendekatan yang seragam untuk hal yang sama," imbuhnya.