Demi Cacing, Peneliti Rela Teliti Jamban Usia 2.500 Tahun
- Alan R. Walker
VIVA – Toilet masa lalu telah memberi kita wawasan baru tentang hubungan antara manusia dan cacing. Dengan mengekstraksi DNA dari berbagai sumber, termasuk jamban yang digunakan oleh bangsa Viking pada 2.500 tahun yang lalu, para peneliti telah merekonstruksi genom salah satu parasit manusia tertua.
Temuan mengungkapkan bahwa cacing cambuk (Trichuris trichiura) telah hidup dan beradaptasi dengan manusia setidaknya selama 55.000 tahun, menurut laman Science Alert, Rabu, 7 September 2022.
Informasi baru tentang biologi dan perilaku parasit kecil yang licik ini, akan membantu merancang metode untuk mencegah penyebarannya.
Pada orang yang kekurangan gizi atau memiliki gangguan sistem kekebalan, cacing cambuk dapat menyebabkan penyakit serius, kata ahli zoologi Christian Kapel dari University of Copenhagen.
"Pemetaan cacing cambuk dan perkembangan genetiknya, memudahkan untuk merancang obat anti-cacing yang lebih efektif, yang dapat digunakan untuk mencegah penyebaran parasit ini di wilayah termiskin di dunia," ujarnya.
Meskipun cacing ini sekarang langka di bagian dunia industri, namun itu diperkirakan menginfeksi hingga 795 juta orang secara global, menurut CDC, terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk.
Telurnya dikeluarkan melalui kotoran manusia yang kemudian dapat ditularkan melalui rute fekal-oral ketika kotoran yang terkontaminasi masuk ke tanah atau air yang kemudian dicerna oleh inang lain.
Setelah di saluran usus inang baru, telur menetas dan cacing betina akan bertelur terus menerus dengan kecepatan hingga 20.000 per hari setelah mencapai kedewasaan.
Mereka dapat hidup hingga satu tahun, sehingga menghasilkan sejumlah besar keturunan yang kemudian dikeluarkan melalui tinja untuk melanjutkan siklus.
"Telur-telur itu terletak di tanah dan berkembang selama kira-kira tiga bulan. Setelah matang, telur dapat bertahan hidup di alam liar lebih lama lagi, menunggu untuk dikonsumsi oleh inang baru yang saluran pencernaannya akan menetas," jelas Kapel.
Seluruh siklus hidup mereka disesuaikan untuk bertahan hidup di tanah selama mungkin. Daya tahan di dalam tanah inilah yang memungkinkan tim untuk mengurutkan DNA purba yang ditemukan dalam fosil kotoran manusia purba.
Telur memiliki cangkang kitin yang keras, mengawetkan DNA yang terkandung di dalamnya, kemudian beradaptasi untuk bertahan hidup lama di lingkungan tanah.
Sebanyak 17 sampel purba yang berbeda dipelajari di bawah mikroskop untuk mengisolasi telur, yang kemudian disaring dari matriks fosil kotoran di sekitarnya dan menjadi sasaran analisis genetik.
Tim juga memeriksa sampel kontemporer dari manusia di seluruh dunia, serta monyet untuk dibandingkan dengan genom purba.