Hati-hati Menyikapi Digitalisasi

Ilustrasi internet of things (IoT).
Sumber :
  • The Balance Small Business

VIVA – Implementasi solusi 'semua terhubung internet' atau internet of things (IoT) untuk mencapai smart manufacturing harus dilakukan secara bertahap untuk mengurangi resistensi pelaku usaha dan mencapai tingkat efisiensi yang maksimal.

"Implementasi IoT di era industri 4.0 adalah keniscayaan karena disrupsi di industri manufaktur selalu terjadi sejak era industri 1.0 hingga 3.0. Namun, IoT harus jadi solusi atas masalah yang terjadi di lapangan sehingga memberikan manfaat yang nyata," kata Squad Leader Manufacture Telkom Indonesia Fariz Alemuda, Kamis, 12 Mei 2022.

Ia lalu menjabarkan manfaat yang diberikan tentunya harus memberikan keuntungan bagi pengguna seperti peningkatan produksi, peningkatan efisiensi, penurunan biaya operasional dan kecepatan pengambilan keputusan.

Berdasarkan keuntungan tersebut maka pengusaha mendapatkan keuntungan kompetitif secara bisnis.

Sementara itu, Key Account Manager Signify Indonesia Firmans Nur Gafi menjelaskan solusi IoT yang diperlukan setiap industri pasti berbeda karena permasalahan yang dihadapi berbeda satu sama lain.

"Tentu saja ada aspek solusi yang bisa diimplementasikan untuk membantu perusahaan melakukan efisiensi dan meningkatkan marjin usaha tanpa harus mengorbankan sumber daya manusia (SDM)," ujarnya.

GM Industrial IoT Telkomsel Fadli Hamsani menilai tidak semua hal harus diubah menjadi solusi IoT. Diperlukan penilaian dan evaluasi di awal untuk melihat titik-titik pemasalahan di mana saja dan solusi IoT terbaik dari sisi kinerja maupun biaya yang bisa diimplementasikan.

"Kami sudah memiliki rekam jejak implementasi IoT untuk manufaktur. Kata kuncinya ada perlu adanya pemetaan kebutuhan di awal, melihat aspek mana yang perlu di IoT-kan," jelas dia. Sekretaris APINDO Jawa Barat Martin B Chandra menambahkan jika masih ada beberapa hambatan dalam implementasi smart manufacturing.

Hambatan yang dimaksud yaitu investasi baru yang memerlukan biaya tinggi, mayoritas pengambil keputusan masih di tangan generasi baby boomers, keterbukaan arus finansial, SDM memerlukan pelatihan khusus, risiko PHK, khawatir akan dampak politis terhadap teknologi yang dibeli dari negara tertentu, serta ketergantungan terhadap sesuatu yang beyond control.

"Saat ini, perusahaan atau pemilik perusahaan sangat berhati-hati dalam menyikapi digitalisasi. Tentu saja salah satu perhatian utamanya adalah biaya investasi yang harus dikeluarkan ditambah adanya risiko pengurangan tenaga kerja bagi perusahaan padat karya, khususnya di Jawa Barat," papar Martin.