Label Zat Kimia Ini Jadi Sorotan di Indonesia

Ilustrasi laboratorium.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Belakangan ini isu label zat kimia Bisphenol A atau biasa disingkat BPA, menjadi sorotan di Indonesia. Senyawa itu terkandung dalam material plastik yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari wadah makanan hingga air minum dalam kemasan guna ulang.

Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM menjelaskan, bahwa BPA adalah senyawa kimia pembentuk plastik jenis Polikarbornat (PC). BPA berbahaya bagi kesehatan, apabila terkonsumsi melebihi batas maksimal yang dapat ditoleransi oleh tubuh.

“Hasil sampling dan pengujian laboratorium terhadap kemasan galon AMDK jenis PC yang dilakukan tahun ini menunjukkan adanya migrasi BPA dari kemasan galon sebesar rata-rata 0,033 bpj. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal migrasi yang telah ditetapkan Badan POM, yaitu sebesar 0,6 bpj," tulis keterangan resmi BPOM.

Meski demikian, mereka tiba-tiba mewacanakan untuk mewajibkan kemasan galon PC yang mengandung BPA agar mencantumkan keterangan “Bebas BPA dan turunannya” atau “Lolos batas BPA” atau kata semakna.

“Kami sudah sampai pada kesimpulan, bahwa nanti kami akan melakukan intervensi pada labelingnya. Jadi nanti ada upaya untuk pelabelan dari kemasan-kemasan tersebut, bisa jadi nanti ada label bebas BPA,” ujar Kepala BPOM, Penny Lukito saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR, dikutip Selasa 9 November 2021.

Penny juga mengatakan, hal pertama yang akan dilakukan BPOM nantinya adalah terkait pemahaman konsumen yang dikaitkan dengan sumber bahan bakunya, apakah mengandung BPA atau tidak.

“Karena, saya juga baru paham, belajar bahwa plastik yang PC, yang polikarbonat yang ada potensi mengandung BPA,” tuturnya.

Pakar Kimia dari Institut Teknologi Bandung, Ahmad Zainal menyatakan bahwa pelabelan secara ilmiah tidak perlu dilakukan, karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kementerian Perindustrian bahwa produk-produk pangan yang sudah memiliki izin edar aman untuk digunakan.

“Pelabelan itu akan menambah biaya, ujungnya akan dibebankan lagi kepada konsumen. Kalau dari sisi itu, pasti akan ada penolakan nanti dari pihak konsumen sendiri,” ungkapnya.