Orang yang Aktif Cek Fakta Informasi Masih Juga Sebarkan Berita Bohong
- abc
Menurut sebuah penelitian terbaru, lebih dari 30 persen orang yang aktif memeriksa kebenaran informasi masih ikut menyebarkan informasi tidak benar.
Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari RMIT FactLab menemukan bahwa bahkan orang-orang yang berlangganan buletin email cek fakta masih rentan membagikan informasi yang salah, meski merasa sangat mampu membedakan informasi yang akurat dan salah.
Lauren Saling, salah satu penulis penelitian yang diterbitkan dalam jurnal penelaahan sejawat PLOS ONE, mengatakan hasilnya mengejutkan.
"Banyak yang mengira mereka yang hati-hati terhadap berita bohong dan disinformasi, dan aktif mengecek kebenaran berita tidak mungkin membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya," kata Dr Saling, dosen psikologi di RMIT University.
Setidaknya 1.400 pelanggan CoronaCheck, buletin email mingguan dari RMIT ABC Fact Check, berpartisipasi dalam penelitian ini.
Kebanyakan mengatakan mereka berlangganan buletin untuk mencari informasi yang akurat atau khawatir mendapatkan informasi yang salah.
Dalam kelompok ini, 24,3 persen di antaranya mengatakan telah membagikan informasi yang kebenarannya tidak diketahui pada saat itu, sementara 31,4 persen lainnya terlanjur membagikan informasi yang ternyata tidak akurat.
"Meski dengan berlangganan buletin pengecekan fakta seperti CoronaCheck kemungkinan membuat individu peka terhadap kebenaran informasi, hal ini jelas tidak cukup untuk menghentikan kemungkinan individu menyebarkan informasi yang salah," ujarnya.
"Karena itu, bahkan untuk kelompok ini kelihatannya diperlukan intervensi yang lebih gamblang untuk mencegah penyebaran informasi yang salah."
Menurut Dr Saling, pria lebih cenderung membagikan informasi yang salah. Mereka juga memiliki kepercayaan yang lebih rendah pada sains.
"Kami juga menemukan bahwa keraguan untuk divaksinasi disebabkan karena rendahnya kepercayaan terhadap sains dan keyakinan pada konspirasi yang lebih tinggi," kata Dr Saling.
"Pria juga memiliki lebih banyak keraguan terhadap vaksin."
Mengapa tetap membagikan informasi yang salah?
Ada beberapa sebab orang membagikan informasi yang salah. 12,4 persen di antaranya melakukannya untuk hiburan, 35,7 persen karena informasinya tampak menarik, dan 38,3 persen untuk menanyakan opini kedua.
Dr Saling juga mencatat bahwa meski pun informasi tidak benar dibagikan untuk agar yang bersangkutan menemukan kebenarannya dan tidak ada maksud menyesatkan orang lain, hal ini masih "sangat bermasalah" dan berisiko menyebabkan kepercayaan salah pada orang lain.
"Kenyataan bahwa pelanggan kami menyebarkan informasi yang kebenarannya patut dipertanyakan menunjukkan bahwa masih ada banyak orang yang tidak menyadari betapa bermasalahnya membagikan berita bohong dan informasi yang salah," katanya.
Russell Skelton, direktur RMIT ABC Fact Check, mengatakan survei ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak atas literasi media di antara pengguna aktif platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok.
"Kami tahu bahwa sebagian besar pembaca berita di Australia mendapatkan berita dari media sosial dibanding media lama," katanya.
"Ini adalah sebuah tren yang memicu banjirnya disinformasi seputar pandemi COVID-19 yang mengancam kesehatan dan keselamatan publik," katanya. .
Mengajarkan pengguna media sosial keterampilan agar jauh lebih cerdas dalam memilih informasi apa yang harus dibagikan, serta mengajarkan keterampilan dasar untuk memilah fakta dari fiksi adalah "tantangan yang akan terus ada", menurut Skelton.
"Kita juga perlu tahu lebih banyak tentang mengapa orang membagikan informasi yang salah dan dampaknya. Survei ini adalah langkah pertama."
Skelton mengatakan RMIT University meluncurkan FactLab untuk menghapuskan disinformasi online dan mengajarkan bagaimana berpikir kritis dengan memberikan asal-usul dan penyebarannya disinformasi tersebut.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel dalam bahasa Inggris