Google Terbelah akibat Konflik Israel-Palestina
- Instagram/@jnthe1
VIVA – Meningkatnya tensi kekerasan dalam konflik Israel-Palestina telah menyebabkan perpecahan di antara karyawan Google yang mengarah pada seruan publik atas bungkamnya raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) itu.
Sebanyak 250 tanda tangan dalam petisi 'Jewish and allied Googlers' yang ditandatangani CEO Google Sundar Pichai menuntut raksasa teknologi itu agar memberikan bantuan kepada warga Palestina dari krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Konflik kekerasan ini terjadi antara Israel dan Hamas, kelompok militan yang tidak mengakui Israel. Para karyawan juga menyerukan agar Google mengakui kekerasan serta kerugian yang dialami Palestina oleh militer Israel.
"Baik Israel dan Palestina terluka saat ini. Tetapi mengabaikan serangan yang merusak dan mematikan yang dihadapi oleh Palestina, seperti mengabaikan rekan kerja Palestina kami," bunyi surat tersebut.
Konflik tersebut kini telah mencapai perusahaan yang berbasis di Silicon Valley ini, menyingkap perpecahan yang semakin terpolarisasi di antara karyawan Google dan budaya perusahaan teknologi.
Surat yang ditandatangani itu merupakan tanggapan untuk sekelompok karyawan Yahudi lainnya yang diduga meminta eksekutif Google untuk 'mendukung negara berdaulat Israel' dan 'perspektif sepihak pro-Israel', menurut FAQ yang disediakan oleh penulis surat tersebut.
Bulan lalu, Israel meminta Google dan Amazon Web Services untuk kontrak US$1 miliar guna menyediakan layanan cloud kepada pemerintah, termasuk militernya, dikutip dari situs Mashable, Rabu, 19 Mei 2021.
Pekerja teknologi semakin vokal menyuarakan masalah politik atas kekhawatiran etis. Terbukti dengan kekuatan Google yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak terkendali, dengan beberapa anggota Serikat Pekerja Alfabet Google yang berkontribusi pada surat tersebut.
Perusahaan teknologi lain, seperti Basecamp, menanggapi perubahan dinamika ini dengan melarang politik di tempat kerja, yang menyebabkan banyak pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Perpecahan politik internal di Google ini menyoroti upaya keberagaman yang telah lama ada. Employee Resource Groups (ERG) dimaksudkan untuk karyawan dengan identitas yang terpinggirkan.
Namun untuk saat ini, kelompok-kelompok tersebut telah memicu lebih banyak kontroversi politik daripada yang diperkirakan Google. Terutama pada saat kongres mengawasi Google, Facebook, Apple, dan perusahaan teknologi lainnya dengan tajam terkait masalah antimonopoli.
Surat yang ditulis oleh grup Google tidak resmi yang menamakan diri mereka sebagai Jewish Diaspora in Tech ini telah menyebut ERG sebagai Yahudi atau Jewglers karena membungkam suara-suara yang mengkritik strategi militer Israel saat ini dan hubungan perang historis dengan Palestina.
Mereka juga meminta Google memberikan dukungan yang sama pada upaya bantuan kemanusiaan Palestina seperti yang dilakukannya untuk Israel. Serangan udara Israel telah menghancurkan fasilitas medis Palestina, sistem saluran pembuangan, sekolah, pipa air, dan pabrik desalinasi yang menyediakan air bersih.
Lebih lanjut bahwa surat tersebut menekankan perlunya Google memperhatikan kekhawatiran karyawan asal Palestina. Pembungkaman dari Google sangat berbahaya, klaimnya, karena Google adalah mesin telusur terbesar dan setiap penindasan atas kebebasan berekspresi yang terjadi di dalam perusahaan disebut berbahaya.
Tidak hanya bagi karyawan secara internal tetapi juga bagi semua orang di seluruh dunia. Terakhir, surat tersebut menyatakan salah satu tuntutannya yang paling berani, yakni memutus kontrak dengan institusi yang mendukung pelanggaran Israel atas hak-hak Palestina, seperti Pasukan Pertahanan Israel.