Petani Tanam Ganja gara-gara Pandemi, 1 Kg Dijual Hampir Rp20 Juta
- The Texas Tribune
VIVA – Selama tiga dekade, seorang petani bernama Abu Ali menanam kentang untuk menafkahi keluarganya, tetapi krisis ekonomi yang melanda negaranya, Lebanon, telah menaikkan biaya produksi dan memaksanya untuk menukar tanaman dengan ganja.
"Ini bukan karena (saya) cinta ganja. Tapi lebih ke murah daripada tanaman lainnya, dan memungkinkan Anda untuk hidup dengan bermartabat," kata pria 57 tahun itu di wilayah Baalbek timur, jantung industri ganja di Lebanon, seperti dikutip dari situs Deutsche Welle, Jumat, 23 April 2021.
Ketika nilai mata uang Pound Lebanon jatuh di pasar gelap, maka harga bahan bakar impor, benih, pupuk dan pestisida yang dihargai dalam Dollar AS meroket. Semakin banyak petani kecil, yang juga sebelum krisis sudah dalam kesulitan, memutuskan untuk beralih untuk menanam ganja.
“Dengan pertanian, kami selalu merugi,” kata Abu Ali, yang meminta untuk menggunakan nama samaran karena masalah keamanan. Setelah beberapa dekade diabaikan oleh pemerintah, banyak rekan Abu Ali yang meminjam uang dari bank atau lintah darat dan harus menjual tanah atau properti untuk membayar utang mereka.
Untuk menghindari nasib yang sama, Abu Ali mulai menanam ganja pada 2019, yang benihnya empat kali lebih murah daripada kentang atau kacang hijau. Tanaman ini juga membutuhkan lebih sedikit air dan pupuk.
Dan, dengan permintaan pasar yang kuat berarti, Abu Ali memiliki pendapatan yang stabil untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun. "Ketika kami menanam sayuran, kami bahkan tidak bisa membeli bahan bakar untuk pemanas," ungkapnya.
Ladang ganja seluas dua hektare yang dimiliki Abu Ali setiap musim panennya menghasilkan sekitar 100 kilogram. Satu kilogram dijual dengan harga rata-rata dua juta Pound Lebanon atau sekitar US$1.325 (Rp19.270.800). Dan, harganya bisa mencapai lima juta Pound Lebanon tergantung pada kualitas.
"Saya tidak menjalani kehidupan mewah, tapi, saya bisa memberi makan dan menghidupi keluarga saya," kata Abu Ali. Seorang petani lain yang meminta dipanggil Mohammad bercerita bahwa ia mulai menanam ganja pada 2018 setelah lebih dari 20 tahun menanam kentang.
Ia mengalokasikan lebih dari satu hektare lahan untuk menanam ganja. Ganja bahkan ia peroleh sebagai pembayaran yang diberikan tetangganya yang mengambil air dari sumurnya. Mohammad mengaku, tidak berniat untuk kembali sebagai petani kentang.
"Dengan kentang, Anda mendapat untung satu tahun dan rugi selama tiga tahun setelah itu. Dengan ganja tidak ada kerugian. Jika bukan karena menanam ganja, kami tidak akan bisa makan," curhat pria berusia 60 tahun tersebut.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) 2020, Lebanon merupakan produsen ganja terbesar keempat di dunia setelah Maroko, Afghanistan, dan Pakistan. Setidaknya 40 ribu hektare lahan ditanami ganja.
Pada April 2020, untuk mendongkrak perekonomian dan meningkatkan pendapatan negara, Parlemen Lebanon telah melegalkan penanaman ganja untuk penggunaan medis. Meskipun demikian, penjualan dan konsumsinya secara resmi dilarang di Lebanon.