Manusia akan Tersiksa Jika Terkena 'Kutukan' Ini
- bbc
Manusia akan tersiksa jika terkena ‘kutukan’ ini. Sebab, dapat menimbulkan bencana kelaparan massal. Kutukan yang dimaksud adalah wabah belalang. Afrika Timur mengalaminya sebagai yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Bagaimana menghentikan hama rakus ini?
Esther Ndavu mengamati buah alpukat menggantung dari pohonnya yang mengering. Ia berpikir, apakah alpukat-alpukatnya bakal membesar dan matang dengan ukuran normal.
Seperti pohon-pohon lain di perkebunannya yang terletak di Desa Mathyakani di sebelah timur Kenya, pohon alpukat ini telah diserang oleh kawanan belalang.
Dengan tangannya, Ndavu menghitung sudah ada 10 pohon alpukat, mangga, dan pawpaw yang kehilangan dahan karena serangan hama yang sama.
Invasi belalang yang menyapu perkebunan di pedesaan Kenya sejak Desember 2019 membuat para petani seperti Ndavu tak hanya kehilangan panen, tapi juga menghadapi masalah lingkungan dan kesehatan.
Serangan belalang kali ini adalah yang terburuk yang pernah terlihat di Kenya dalam 70 tahun, dan para ahli khawatir kawanan hewan ini akan kembali dengan lebih ganas di tahun-tahun mendatang. Belalang gurun, atau Schistocerca gregaria, kerap disebut-sebut sebagai hama yang paling merusak di dunia.
Kawanan ini terbentuk karena jumlah belalang bertambah secara tak terkendali. Keadaan ini menyebabkan peralihan fase belalang, dari yang mulanya soliter dan tak berbahaya, menjadi berkelompok dan suka bersosialisasi.
Di fase ini, serangga tersebut mampu berkembang biak menjadi 20 kali lipat dalam waktu tiga bulan dan mencapai kepadatan 80 juta belalang per kilometer persegi.
Setiap ekor mampu makan 2 gram vegetasi saban hari. Bila digabung, kawanan belalang dengan anggota 80 juta ekor dapat mengonsumsi makanan yang setara dengan jumlah makanan untuk 35 ribu orang per hari.
Tahun ini, belalang telah menginvasi dalam kelompok besar di belasan negara, termasuk Kenya, Ethiopia, Uganda, Somalia, Eritrea, India, Pakistan, Iran, Yaman, Oman, dan Arab Saudi. Ketika kawanan menyerang beberapa negara sekaligus dalam jumlah yang sangat besar, peristiwa ini bisa disebut wabah.
Ndavu hidup di Desa Mathyakani, yang luasnya sekitar 50 km persegi dan dihuni oleh sekitar 10 ribu penduduk.
Di tanah seluas 1,6 hektare milik Ndavu, kawanan belalang menghancurkan hasil panen senilai 50 ribu shilling Kenya (sekitar Rp6,7 juta) yang sedianya dipanen pada Juli tahun ini.
Tanaman yang tumbuh di pinggiran lahan pertaniannya, tempat ia biasa mengumpulkan makanan untuk ternaknya, juga tak luput dari serangan belalang.
Tanpa makanan untuk ternak, Ndavu harus memindahkan semua ternaknya ke desa sebelah, yang terhindar dari serangan belalang.
Ia harus membayar sekitar 100 shilling Kenya (Rp13 ribu) kepada pemilik tanah untuk memberi makan ternaknya setiap hari. Kotoran yang dihasilkan oleh enam ekor sapinya juga diambil oleh pemilik tanah sebagai bayaran tambahan.
"Saya telah melalui banyak cobaan hidup karena tumbuh sebagai yatim piatu," ujar Ndavu. "Tapi serangan hama belalang ini lebih dari cobaan biasa. Ini adalah permasalahan hidup dan mati karena telah membuat kami kelaparan dan kebingungan."
Korban pertahanan
Pada Februari 2020, media lokal melaporkan kawanan belalang telah menginvasi lahan seluas 2.400 km persegi di Kenya utara. Ini bisa jadi kawanan terbesar dalam sejarah Kenya. Di desa Ndavu, belalang memenuhi sekitar 20 km persegi vegetasi.
Invasi ini telah berdampak pada kesehatan mental penduduk Desa Mathyakani. Selama lebih dari seminggu saat serangan belalang berlangsung, anak-anak Ndavu tidak bisa pergi sekolah.
Mereka tinggal di rumah dan membantu orangtua mereka mengusir belalang yang memenuhi kebun mereka.
Pada awalnya, para orang dewasa menggunakan peralatan seadanya untuk mengusir belalang, seperti memukul perkakas, menyalakan api dengan cara membakar ban kendaraan, ujar Ndavu.
Tugas anak-anak adalah berteriak untuk menakut-nakuti kawanan belalang, sebelum para petani bisa mengakses pestisida. Ternyata, ini memberi efek pada anak-anaknya.
"Hampir setiap malam saya tidak cukup tidur," kata Ndavu. "Anak-anak membangunkan saya karena mereka mulai berteriak-teriak dalam tidur di malam hari. Ketika saya tanya kenapa, mereka berkata bahwa mereka bermimpi kawanan belalang datang lagi ke rumah kami."
Peninah Nguli, seorang guru dari desa tetangga Mathyakani, berkata bahwa para perempuan paling terdampak. Di wilayah tersebut, para perempuan biasanya bertanggung jawab atas hasil pertanian, sementara para pria merawat ternak. Beberapa perempuan mengalami masalah tenggorokan karena terlalu sering berteriak untuk menakuti belalang, kata Nguli. Banyak yang ketakutan kawanan belalang akan datang lagi.
Serangan kawanan belalang memang sangat mungkin terjadi lagi, dan bisa sangat menghancurkan. Bila ada lonjakan serangan lagi, sekitar lima juta hingga 25 juta orang di Afrika Timur terancam mengalami kekurangan bahan makanan parah. Tambahan 25 juta orang lagi akan menghadapi kerawanan pangan akut.
Alat untuk bertahan
Pada pertengahan Februari lalu, pemerintah Kenya mengumumkan akan fokus melakukan langkah-langkah intervensi di area yang paling banyak diserang kawanan belalang, yakni di sebelah utara.
Langkah intervensi ini termasuk penyemprotan pestisida secara manual dan dari udara, disusul dengan penurunan tim tanggap darurat untuk menghitung kerusakan yang disebabkan oleh belalang.
Hasil penaksiran ini akan menjadi acuan pemerintah dalam membuat rencana untuk membantu para penduduk Kenya yang mata pencahariannya hilang akibat belalang.
Kenya adalah satu dari sembilan negara penerima bantuan sebesar US$1,5 juta dari African Development Bank untuk membantu kawasan Afrika Timur dan Tanduk Afrika memerangi invasi belalang.
Pada Mei, Bank Dunia mendistribusikan US$56 juta untuk membantu 70.000 rumah tangga dan 20.000 petani di Kenya untuk pulih dari serangan belalang.
Salah satu cara agar dana ini bisa dipakai untuk membantu petani seperti Ndavu adalah dengan melengkapi mereka dengan teknologi sehingga mereka siap menghadapi invasi belalang lain, kata Moses Muli, pakar sosial dan konservasi yang bekerja dengan Action Aid, Kenya, selama enam tahun.
Pertahanan pertama adalah insektisida kimia, yang bisa dibagikan dengan paket via darat atau udara. Selama pandemi COVID-19, perlindungan ini sulit atau mustahil didapat karena rantai suplai bahan kimia terganggu. Metode penyemprotan, meski lebih efektif, tapi memiliki kekurangan: zat yang digunakan bisa berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Alternatif lainnya, penggunaan pesawat nirawak dan pagar listrik untuk mengontrol kawanan belalang. Drone bisa dinavigasi untuk terbang rendah dan menyemprot pestisida, sekaligus melakukan pengawasan, tanpa membutuhkan pesawat besar dengan pilot manusia.
Pagar listrik bisa dipasang di atas lahan untuk menghasilkan getaran listrik di medan terbuka guna menakut-nakuti belalang, juga menyetrum serangga-serangga yang mengenainya. Meski uji awal pagar listrik cukup berhasil, alat ini lebih cocok untuk mengendalikan kawanan yang relatif kecil.
Opsi lainnya adalah menggunakan "pestisida biologis" dengan bahan dasar jamur Metarhizium acridum yang bisa menginfeksi dan membunuh belalang.
Pestisida berbahan dasar jamur berbahaya bagi spesies yang lebih sempit ketimbang pestisida biasa, sehingga memiliki risiko lebih kecil untuk lingkungan dan manusia.
Namun, beberapa peneliti mempertanyakan apakah pembasmi hama dari jamur akan membahayakan spesies serangga lain, seperti rayap.
Mereka juga butuh waktu lebih lama untuk membunuh hama, sehingga risiko hasil panen yang rusak lebih besar.
Sebenarnya, beberapa perlindungan penting harus sudah ada sebelum kawanan belalang tiba. Stasiun peringatan cuaca jarak jauh dapat membantu para petani mempersiapkan diri sebelum kawanan belalang datang.
Belalang biasanya menyerang ketika kemarau panjang yang diikuti dengan hujan lebat, kata Muli. Stasiun cuaca bisa menangkap data yang memperlihatkan variasi cuaca dan memberi tahu para petani kapan harus menyemprot pestisida lebih awal.
Bagi Munyithya Kimwele, seorang petani di Mathyakani, berinvestasi pada alat peramal cuaca adalah pilihan terbaik supaya keluarga petani bisa bersiap-siap sebelum belalang datang menyerang.
"Dulu, ramalan cuaca tradisional bisa membantu mempersiapkan warga akan adanya serangan belalang. Alat seperti ini adalah intervensi terbaik yang bisa disediakan pemerintah untuk petani miskin seperti kami," kata Kimwele.
Di desa seperti Mathyakani, yang bukan merupakan prioritas penyemprotan atau penerima bantuan dari pemerintah, para petani mengambil langkah pemulihan dengan melakukan diversifikasi tanaman.
Alih-alih mengandalkan tanaman tradisional seperti jagung dan kacang tunggak yang lebih rentan diserang belalang, semakin banyak petani kini menanam buah dan sayur.
Diversifikasi tanaman mungkin terjadi berkat proyek irigasi yang dibuat pada 2009. Sekitar 40 keluarga di sepanjang Sungai Enzio kini bisa menanam kubis, tomat, kangkung, dan kale.
Kelompok ini tidak terdampak parah bila dibandingkan dengan petani yang hanya menanam jagung dan kacang tunggak.
Memprediksi wabah
Apakah Tanduk Afrika akan mengalami bawah belalang yang lebih buruk di masa depan? Pertanyaan ini sulit dijawab, menurut Ezra Kipruto Yego, koordinator Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan dari PBB.
Yego melihat ada kemungkinan hubungan antara perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan serangan kawanan belalang di Afrika Timur. Sebagai contoh, ketika tahun lalu topan menghantam Samudera Hindia, kawanan belalang bermigrasi ke wilayah tersebut dari sarang mereka di kawasan Timur Tengah, ujarnya.
"Kawanan belalang mungkin tidak akan menghilang dalam waktu dekat. Ini karena cuaca yang tidak menentu yang menyebabkan musim hujan berkepanjangan dan menyediakan cukup vegetasi bagi hama makan dan berkembang biak," kata Yego.
Tantangan besar lain untuk mengendalikan belalang di Afrika Timur adalah ketidakstabilan politik. Yego berkata, badan-badan PBB yang berkomitmen melawan serangan kawanan hama jarang mau mengirimkan personel ke negara-negara seperti Somalia, misalnya, yang kerap mengalami serangan dari militan al-Shabab.
“Kawanan belalang juga dengan mudah berpindah dari negara satu ke negara lain. Ini berarti, perdamaian internasional dan stabilitas politik adalah kunci penting menangani hama,” kata Yego.
“Hingga solusi berskala internasional seperti itu tersedia, penduduk Mathyakani, bekerja keras untuk beradaptasi dan membangun ketahanan pasca-serangan belalang,” ujar Ndavu.
Ancaman lahirnya kawanan belalang baru masih ada, apabila kelompok terakhir bertelur di area tersebut, dan menetas di akhir tahun, menjelang masa panen.
Beberapa orang telah melihat anak-anak belalang melompat-lompat di desa mereka. Para penduduk kemudian menyemprotnya dengan pestisida, dan terkadang mereka mati dan menghilang. "Saya tahu ini belum berakhir," kata Ndavu.
Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris dengan judul The Biblical locust plagues of 2020 pada laman BBC Future.