Lapisan Es di Laut Arktik Menyusut Tajam
- bbc
Lapisan es di Laut Arktik menyusut hingga kurang dari 3,74 juta kilometer persegi. Ini merupakan penyusutan pada tingkat terendah kedua sejak pengamatan satelit dimulai pada musim panas 2020.
Satu-satunya kejadian di mana batas penyusutan itu terlampaui sepanjang 42 tahun catatan pengamatan satelit, terjadi pada 2012, ketika sebaran es di lautan itu berkurang menjadi 3,41 juta kilometer persegi.
Kini, luas es mulai bertambah setelah siang hari menjadi lebih pendek seiring dengan mulainya musim gugur, serta cuaca dingin yang mulai menyelubungi wilayah itu.
- `Bukti perubahan iklim terjadi dengan cepat`, lapisan es seluas 110 km persegi `terlepas dan terpecah-belah` di Greenland
- Lapisan es di Greenland mencair secara `ekstrem` hingga tembus rekor
- Es di kutub kian menyusut, beruang kutub terancam punah pada 2100 mendatang
Lapisan es di Laut Arktik biasa mengembang sepanjang musim dingin setiap tahun dan kemudian mencair kembali di musim panas. Namun, jumlah minimal keberadaan lapisan es di lautan wilayah itu pada September, mengingat juga sejumlah variabilitas, terjun semakin dalam seiring dengan cuaca Kutub Utara yang semakin hangat.
Tren penurunan sejak satelit mulai secara rutin mematau es yang mengapung adalah sekitar 13 persen per dekade, dirata-rata sepanjang bulan.
Permodelan komputer memproyeksikan es di lautan ini pada musim panas akan berada di bawah satu juta kilometer persegi secara umum pada akhir abad ini.
Itu merupakan berita buruk untuk isu iklim. Lautan es yang luas membantu mendinginkan Kutub Utara dan bagian lain planet ini.
Jika lautan es ini tidak ada, lebih banyak sinar Matahari akan diserap oleh permukaan air laut yang lebih gelap, yang kemudian akan mendorong pemanasan lebih lanjut dan hilangnya es lebih lanjut.
"Cara saya melihatnya sekarang adalah bahwa kita akan selalu memiliki es laut yang rendah; tidak akan pernah kembali seperti pada 1980-an atau 1990-an," kata Prof Julienne Stroeve dari Center for Polar Observation dan Modeling (CPOM) di University College London (UCL), Inggris.
"Tapi apakah kita mendapatkan rekor terendah baru dari satu tahun ke tahun berikutnya – itu sangat bergantung pada apapun yang terjadi dalam pola cuaca musim panas," katanya kepada BBC News.
Sebagai pengingat, delapan tahun lalu beberapa badai penghujung yang membantu memecah es yang menyebar ke titik terendah September.
Tahun ini tidak memiliki hal itu, tetapi ada beberapa kondisi yang sangat hangat, terutama di sisi Laut Siberia, yang mendorong pencairan di awal musim.
Prof Stroeve menghabiskan empat setengah bulan bekerja di wilayah kutub pada musim dingin yang lalu, mempelajari berbagai kondisi dengan tim internasional yang berbasis di kapal penelitian Jerman, Polarstern.
Kapal itu bekerja mulai Oktober 2019 untuk mengapung dengan gumpalan es yang terapung di laut selama satu tahun penuh, meskipun kesulitan pasokan dan pertukaran awak sebagai akibat dari krisis COVID-19 mengganggu rencana ini.
Ilmuwan CPOM-UCL menggunakan ekspedisi Mosaic milik Polarstern untuk menyelidiki seberapa akurat sensor pesawat ruang angkasa melihat es.
Yang diperhatikan oleh Stroeve adalah altimeter radar yang mengukur ketebalan es terapung dengan mengukur perbedaan ketinggian antara permukaan atas es laut dan permukaan laut, yakni papan lepas es.
Satelit-satelit, seperti platform Cryosat-2 milik Badan Antariksa Eropa (ESA) , dapat menggunakan pengamatan ini untuk menyimpulkan kedalaman bagian terendam es terapung – aliran es – dan dengan demikian mendapatkan tampilan 3D dari bongkahan es, bukan hanya luas 2D.
Komplikasi yang dialamai dalam pendekatan ini adalah memperhitungkan salju yang mungkin ada di atas es. Ini akan mengubah cakrawala dari mana sinyal pengukuran radar memantul kembali ke satelit.
Dari eksperimen Prof Stroeve pada musim dingin, tampaknya misi Cryosat dari ESA memiliki kecenderungan untuk mengukur es laut sebagai lebih tebal dari yang sebenarnya.
Badan antariksa itu, bekerja sama dengan Uni Eropa, kini mengembangkan pesawat luar angkasa baru bernama Cristal yang akan beroperasi dengan dua frekuensi radar yang berbeda.
"Ini akan memberi kesempatan untuk mendapatkan ketebalan es dan kedalaman salju pada sistem satelit yang sama. Kedalaman salju di atas es selalu menjadi salah satu hal yang tidak diketahui yang berkontribusi pada ketidakmampuan kami untuk benar-benar memetakan ketebalan es laut sebaik yang kami inginkan," kata Prof Stroeve.
ESA mengumumkan pemberian kontrak senilai 300 juta euro (Rp5,2 triliun) pada Senin kepada produsen dirgantaraan Airbus untuk memulai pengembangan Cristal.