Sedih, Indonesia Harus Takluk dari Zimbabwe Soal Ini
- ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
VIVA – Indonesia telah memproduksi 152.319 ton daun tembakau pada 2017. Jumlah ini membuat Indonesia berada di peringkat keenam sebagai negara produsen daun tembakau di dunia di bawah Zimbabwe (peringkat kelima), Amerika Serikat (keempat), India (ketiga), Brasil (kedua), dan China di tahun lalu.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia, Billy Arie. "Penggunaan teknologi yang sudah ketinggalan menghambat produktivitas industri perkebunan tembakau hingga berada jauh di bawah negara produsen daun tembakau lainnya," ungkap dia, Senin, 14 September 2020.
Baca: Bukan Begini Caranya Bikin Orang Tobat Merokok
Sebagai catatan, jumlah produksi daun tembakau Indonesia cenderung stagnan dalam sepuluh tahun terakhir, atau dari 2007 hingga 2017. Berdasarkan data dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), pada 2007 dan 2008, jumlah produksi daun tembakau Indonesia mencapai 164.851 ton dan 168.037 ton.
Jumlah ini kemudian mengalami peningkatan di 2009 menjadi 176.510 ton. Namun, jumlah tersebut mengalami penurunan pada 2010 menjadi 135.700 ton dan meningkat tajam di tahun berikutnya menjadi 214.600 ton dan bertambah menjadi 260.800 ton pada 2012.
Penurunan kembali terjadi di 2013 menjadi 260.200 ton. Jumlah ini terus menurun menjadi 196.300 ton di 2014 dan 193.790 ton di 2015. Pada 2016 dan 2017, jumlah produksi tembakau turun menjadi 126.728 ton kembali meningkat menjadi 152.319 ton.
Billy melanjutkan kurangnya teknologi modern pada perkebunan tembakau yang biasanya berukuran kurang dari 2 hektare, berdampak terhadap sangat rendahnya level produktivitas di Indonesia. Ia pun mengaku jika petani tembakau membutuhkan dukungan teknis.
"Kemampuan dan teknologi yang mereka gunakan akan memberdayakan para petani untuk menanam tembakau yang bisa digunakan sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui atau untuk mengekstraksi nikotin untuk produk rokok elektrik, alih-alih untuk rokok konvensional," jelasnya.
Selain teknologi yang sudah ketinggalan, petani tembakau juga dihadapkan oleh kenaikan cukai. Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk fokus pada kebijakan yang kondusif bagi petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT).
Menurutnya, kenaikan cukai secara serampangan akan memberikan dampak signifikan kepada petani tembakau karena akan mengurangi penyerapan dan juga kenaikan harga rokok yang mengancam keberadaan industri rokok kretek tangan.
"Kami mendesak pemerintah untuk membuat peta jalan (roadmap) IHT serta mempertimbangkan ulang rencana kenaikan cukai rokok. Karena, akan mengakibatkan kehancuran bagi petani tembakau," tegas Billy.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia, Idham Arsyad mengatakan, industri rokok di Indonesia adalah kontributor lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pajak yang signifikan.
Ia mengaku kebijakan tentang perkebunan tembakau dan industri rokok di Indonesia tidak terkoordinasi dengan baik. Pendapatan cukai dari produk tembakau mencapai Rp143,66 triliun atau setara dengan US$10,33 miliar pada 2019 dan merupakan 95,5 persen dari seluruh pendapatan cukai. "Hal tersebut membuat rokok menjadi sumber pendapatan yang penting bagi pemerintah," kata Idham.