Penyakit ini Sama Gawatnya dengan COVID-19

Ilustrasi depresi.
Sumber :
  • dw

Penyakit ini sama gawatnya dengan pandemi COVID-19. Penyakit itu bernama kekerasan verbal. Seperti tertusuk pedang, kata yang diucapkan dengan nafsu menyakiti bisa mengakibatkan luka yang sulit sembuh, trauma yang membekas hingga bertahun-tahun.

Tanpa perlu dijeritkan, kata-kata hinaan yang disampaikan dengan lembut tapi tajam dan menusuk pun bisa membuat seseorang merasa tak berarti, kecil, hina, bahkan hingga yang terburuk: merasa tak layak hidup.

Kalimat-kalimat yang mengalir dan dilontarkan secara berkepanjangan dalam keseharian ternyata mampu membunuh jiwa yang paling kuat sekalipun. Mengubahnya menjadi rapuh, muram, dan merana. Istilahnya, kekerasan verbal.

Kekerasan verbal terjadi di mana-mana, bahkan dalam sebuah relasi yang seharusnya penuh cinta dan lemah lembut. Kekerasan verbal dilakukan oleh suami ke istri, istri ke suami, orangtua ke anak, bahkan dilakukan oleh sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.

Kekerasan verbal termasuk dalam kekerasan psikis. Artinya, kekerasan dilakukan untuk menjatuhkan mental seseorang agar menjadi tak percaya diri. Yang mengkhawatirkan, tak jarang baik pelaku maupun korban tak menyadari telah melakukan kekerasan verbal.

Banyak yang mengira akan langsung mengenali kekerasan verbal bila terjadi pada dirinya. Dalam praktiknya, kekerasan verbal memang sering dilakukan dengan jeritan dan caci-maki, serta kata-kata hinaan yang mengecilkan hati.

Tapi tak selamanya kekerasan verbal dilakukan dengan kasar. Ada juga korban yang mengalami kekerasan verbal tanpa langsung mengenalinya, tiap hari menerimanya tanpa sadar.

Pelaku kekerasan verbal bisa melakukannya dengan berbagai macam cara. Selain dengan kata-kata kasar, mereka juga sering kali mencampurnya dengan gaslighting.

Gaslighting secara sederhana bisa diartikan sebagai tindakan memanipulasi korban yang membuat korban mempertanyakan kewarasan dirinya.

Ada juga yang melakukan metode yang nyaris tak disadari korban, misalnya dengan merendahkan, mengoreksi perkataan korban setiap saat, menginterupsi berkali-kali, dan memberikan silent treatment berkepanjangan. Semua ini dilakukan untuk mengontrol sang korban.

Yang menyedihkan, efek dari kekerasan verbal ternyata membutuhkan waktu pemulihan yang seringkali lebih lama dibandingkan kekerasaan fisik. Luka-luka yang yang disebabkan kekerasan verbal tak tampak oleh mata dan tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan seperti luka fisik.

Dibutuhkan terapi dan pendampingan bagi korban kekerasan verbal, karena sifatnya yang bersinggungan dengan kekerasan psikologis. Satu-satunya cara menghentikan kekerasan verbal dalam sebuah relasi adalah keluar dari relasi tersebut.

Tinggalkan pelaku kekerasan verbal. Tentu tidak gampang, karenanya jangan ragu meminta bantuan baik dari orang-orang terdekat, tenaga ahli, atau pekerja sosial yang bergerak khusus membantu korban kekerasan.

Perempuan kerap jadi korban

Dalam beragam kasus kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan, baik dalam masa berpacaran atau pun berumah tangga, perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan verbal.

Di Amerika Serikat, satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan dari pasangannya, termasuk kekerasan verbal. Di Indonesia, meski tak ada angka pasti, perempuan juga jadi sasaran kekerasan verbal, tak hanya di rumah oleh orang-orang terdekat tapi juga dari orang-orang tak di kenal di jalan, di tempat kerja, hingga di dunia maya.

Khusus di dunia maya--terutama di media sosial--kekerasan verbal terjadi, kerap dan sulit dibendung. Menurut survei yang dilakukan Amnesty International dan dilansir oleh Geek pada tahun 2018, sejumlah 1,1 juta cuitan di Twitter bernada pelecehan atau cuitan bermasalah ditujukan pada perempuan. Atau rata-rata setiap 30 detik perempuan mengalami kekerasan verbal di Twitter.

Media sosial tempatnya melecehkan perempuan, statement yang valid. Yang lebih menyedihkan, praktik yang mengganggu secara psikis ini justru dinormalisasi dan dianggap risiko bermedia sosial yang harus diterima dengan besar hati.

Dalam platform media sosial, ruang untuk menyuarakan pendapat terbuka seluas-luasnya. Sesuatu yang menyenangkan padahal, siapa yang tak mau opininya didengarkan?

Gaya menyampaikan pendapat pun beragam, bisa disesuaikan dengan karakter. Ada yang riang gembira, santun, dan sedikit jenaka. Ada juga yang tajam, lugas, bahkan kadang kasar.

Nah, yang sering terjadi mereka yang bersemangat dengan opini pribadinya tak bisa menerima opini orang lain yang berbeda sedikit saja, apalagi yang bertolak belakang. Akibatnya kekerasan verbal pun terjadi.

Polarisasi dalam politik membuat kita mengotak-otakkan manusia dengan prinsip ‘you’re either with us or against us’. Dalam interaksi dunia maya, prinsip ini semakin dipertajam dengan rendahnya akuntabilitas individu yang terlibat. Anonimitas menjadi praktik umum.

Pelaku kekerasan verbal bisa bersembunyi di balik keyboard sambil sesuka hati melontarkan kata-kata paling menyakitkan. Mereka menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk menyakiti tanpa peduli efek yang ditimbulkan bisa sangat melukai.

Di Twitter, misalnya, bila ada cuitan yang viral dan nadanya kontroversial, apalagi menyangkut soal politik, komentar yang mengikuti bisa dibilang penuh dengan caci-maki.

Saya pun mengalaminya, bukan hanya terbilang sekali-dua kali. Tak cuma yang terbuka mengomentari cuitan saya, tapi juga yang tanpa segan menyelinap ke pesan pribadi dan tanpa enggan melontarkan makian karena berbeda pandangan. Kekerasan verbal ini pun kerap melebar menjadi pelecehan seksual.

Saat perempuan melontarkan pendapat yang secara keras tidak disepakati oleh pihak lain, ia pun rentan mengalami pelecehan seksual.

Ia disudutkan menampilkan citra diri yang kurang santun baik dalam berpakaian atau pun berkata-kata meskipun tak ada hubungannya dengan opini yang dilontarkan. Cacian seperti “Dasar lonte, perempuan murahan lihat saja caranya berpakaian” menjadi sebuah kenormalan, bahkan dirayakan dengan sorak-sorai oleh pihak yang kebetulan sepaham.

Bagaimana menghadapinya?

Dunia maya dalam ruang media sosial yang dengan gampang mendekatkan manusia juga tempat yang dengan gampang ‘membunuh’ manusia lain.

Saat bertikai karena perbedaan pendapat, emosi pun dilibatkan. Normalisasi kekerasan verbal, baik dalam rumah tangga maupun dalam dunia maya membahayakan.

Selain kontra produktif, efek kekerasan verbal bisa mematikan. Daya tahan seseorang dalam menghadapi kekerasan verbal beragam.

Ada yang bisa dengan enteng menafikan kekejian dalam setiap kekerasan verbal yang dialaminya, ada yang merana hingga depresi dan merasa dirinya tak berarti. Pada titik terendah bisa berakibat fatal.

Dalam menghadapi kekerasan verbal di dunia maya, salah satu cara yang paling efektif adalah meninggalkan sumber kekerasan verbal. Puasa media sosial secara rutin perlu dilakukan untuk menjernihkan pikiran.

Kehidupan di luar dunia maya sesungguhnya seringkali lebih menyenangkan, diisi oleh orang-orang yang kita kenal baik dan mendukung kita.

Tidak ada anonimitas, dan interaksi yang terjadi pun riil dan tulus. Kehati-hatian menjadi keutamaan, karena setiap orang berhadapan langsung dengan sosok-sosok yang jelas dan nyata.

Kalau masih ngotot ingin berselancar di dunia maya yang keras dan rentan kekerasan verbal? Cobalah untuk tidak melibatkan emosi saat berinteraksi, terutama ketika menghadapi kekerasan verbal dari orang yang tidak dikenal.

Tak ada gunanya berpanjang-panjang berargumen dengan orang yang melakukannya secara kasar dan sengaja menggunakan kekerasan verbal.

Tarik napas dalam-dalam dan abaikan setiap kata yang menyakitkan, apalagi tuduhan-tuduhan tak berdasar yang muncul hanya karena perbedaan pendapat atau keinginan untuk mengontrol dan mengecilkan keberadaan kita.

Sangatlah penting mengenali batas-batas toleransi yang kita miliki dalam menghadapi kekerasan verbal saat berinteraksi di dunia maya.

Jangan membiarkannya berlarut-larut. Kekerasan verbal terjadi ketika seseorang menggunakan kata-kata untuk menakuti, mengecilkan, mempermalukan, dan mengisolasi lawannya.

Bila merasakan hal-hal seperti ini, artinya kita sedang dirundung kekerasan verbal. Utamakan kesehatan mental, jauhkan diri dari penyebabnya.

Satu hal lagi yang terpenting, janganlah kita menjadi bagian dari mereka yang menormalisasi kekerasan verbal. Sudah saatnya setiap orang belajar mengekspresikan pendapat dengan cara yang baik, melakukannya dengan sehat tanpa melukai orang lain dengan kata-kata.

Kekerasan verbal nyata, dan memiliki efek traumatis. Sayangnya, kita pun disengaja atau tidak kadang ikut melakukannya, tak hanya pada orang-orang asing yang melintas di dunia maya, tapi juga pada orang-orang terdekat yang kita cintai. Tanpa sadar kita menjadi bagian yang menormalisasi kekerasan verbal, bukan justru ikut menghentikannya.

@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.