Mata-mata China Buru Target Pakai LinkedIn
- Instagram/@shootstakelly
Mata-mata China memburu target pakai LinkedIn. Adalah Jun Wei Yeo, seorang warga Singapura yang menjalani program pendidikan doktoral, sangat senang ketika diundang ke Beijing, China untuk memberi presentasi di depan sejumlah akademisi negara itu pada 2015.
Untuk tugas akhir program strata tiganya, Yeo meneliti kebijakan luar negeri China. Ia menggali strategi bagaimana negara adidaya baru itu menyebarkan pengaruh di dunia internasional.
Setelah mempresentasikan penelitiannya, Yeo alias Dickson, didekati beberapa orang yang mengaku bekerja di lembaga kajian yang berafiliasi dengan pemerintah China. Kejadian itu terungkap dalam dokumen persidangan kasus Yeo di pengadilan federal Amerika Serikat (AS).
Orang-orang itu berkata akan membayar Yeo jika dia bersedia membuat laporan untuk China terkait isu politik dan sejumlah informasi lainnya. Belakangan, kepada Yeo, orang-orang itu merinci yang mereka inginkan, yakni rumor dan informasi dari `orang dalam’.
Yeo seketika itu menyadari bahwa orang-orang itu adalah agen badan intelijen China. Namun dirinya tetap menjalin kontak dengan mereka. Yeo menuturkan itu di bawah sumpah saat bersaksi di persidangan.
Yeo berkata kalau dirinya diminta memfokuskan kinerjanya di kawasan Asia Tenggara. Akan tetapi, belakangan dia diminta menggali informasi terkait pemerintah AS.
Itulah proses Yeo menjadi anggota badan telik sandi China. Dalam pekerjaannya, dia mengaku memanfaatkan LinkedIn, sebuah jejaring sosial di kalangan profesional.
Yeo juga membuat perusahaan konsultan palsu dan menyamar sebagai seorang akademisi yang penasaran. Tujuannya, mengelabui targetnya di AS.
Pada Jumat, 24 Juli 2020, sekitar lima tahun setelah awal keterlibatannya dengan China, Yeo mengaku bersalah di hadapan pengadilan federal AS. Laki-laki berusia 39 tahun itu mengaku menjadi agen intelijen ilegal di AS dan berpotensi dihukum 10 tahun penjara.
Pengakuan Yeo merupakan babak baru dalam hubungan diplomatik AS dan China yang terus memanas dalam beberapa waktu terakhir.
Yeo merupakan alumnus Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP). Sejumlah pejabat tinggi berbagai negara Asia pernah menempuh pendidikan di lembaga itu.
Beberapa alumnus kampus itu terkejut dengan pengakuan Yeo. "Dia adalah mahasiswa yang aktif di kelas. Saya selalu menganggapnya sebagai sosok yang sangat cerdas," kata salah satu alumni yang meminta namanya disembunyikan.
Alumnus LKYSPP itu berkata, Yeo kerap berbicara tentang ketimpangan sosial. Yeo juga disebut pernah bercerita tentang keluarganya yang mengalami persoalan finansial.
Sulit menerima fakta bahwa Yeo mengaku bersalah karena menjadi agen intelijen ilegal, kata kawannya itu.
Seorang bekas staf di kampus itu mengutarakan hal berbeda, bahwa Yeo tampaknya "meninggikan tingkat penting dirinya".
Promotor gelar PhD Yeo adalah Huang Jing, seorang profesor terkemuka, pemegang paspor AS keturunan China.
Pada 2017, Huang Jing diusir dari Singapura. Dia dituduh menjadi agen tak terdaftar untuk negara asing.
Huang Jing hingga saat ini terus membantah tuduhan tersebut. Setelah meninggalkan Singapura, dia sempat bekerja di Washington. Kini dia menetap di Beijing.
Menurut dokumen pengadilan yang baru saja dirilis, Yeo berkali-kali bertemu `atasannya` di berbagai lokasi di China.
Dalam sebuah pertemuan, ia secara khusus diminta mengumpulkan informasi tentang Kementerian Perdagangan AS. Ia juga diminta membuat laporan mengenai produk kecerdasan buatan terbaru AS dan perang dagang antara China dan AS.
Bilahari Kausikan, mantan sekretaris tetap di Kementerian Luar Negeri Singapura, yakin bahwa Dickson sebenarnya secara sadar bekerja untuk badan intelijen China.
Yeo, kata dia, adalah bukan orang bodoh yang tanpa disadari berguna untuk orang lain.
Yeo menghubungi target pentingnya dengan melalui LinkedIn. Situs ini adalah jejaring kerja dan karier yang digunakan lebih dari 700 juta orang.
Dalam dokumen pengadilan, LinkedIn disebut sebagai situs jaringan profesional biasa. Namun Washington Post mengkonfirmasi bagaimana Yeo memanfaatkannya.
Banyak mantan pegawai atau kontraktor pemerintah dan lembaga militer yang tanpa malu mengunggah secara detail sejarah pekerjaan mereka di LinkedIn. Tujuan mereka mendapatkan pekerjaan baru di sektor swasta.
Tren penggunaan LinkedIn itu menjadi tambang emas bagi badan intelijen asing.
Pada 2018, pimpinan badan kontra intelijen AS, William Evanina, memperingatkan aksi China di platform milik Microsoft yang disebutnya sangat agresif.
Platform milik Microsoft itu merupakan salah satu dari beberapa situs media sosial buatan negara Barat yang tidak diblokir di pemeirntah China.
Kevin Mallory, mantan agen CIA dipenjara selama 20 tahun Mei lalu karena mengungkap rahasia militer AS kepada seorang agen China. Mallory pertama kali menjadi target di LinkedIn.
Pada 2017, badan intelijen Jerman menyebut agen spionase China menggunakan LinkedIn untuk mendapatkan informasi dari setidaknya 10 ribu orang Jerman.
LinkedIn belum menanggapi permintaan wawancara untuk berita ini. Namun sebelumnya, mereka menyatakan perlu mengambil sejumlah langkah strategis untuk menghentikan penyalahgunaan situs mereka.
Yeo meminta beberapa target yang dia temukan di LinkedIn untuk menulis laporan kepada firma konsultasinya. Yeo memberi nama perusahaannya serupa dengan sebuah firma terkemuka.
Laporan dari para targetnya itulah yang kemudian dia kirim ke China.
Salah satu orang yang dia hubungi bekerja dalam program jet tempur F-35 Angkatan Udara AS. Orang ini mengaku memiliki masalah finansial.
Target Yeo yang lain adalah seorang perwira militer yang bertugas di Pentagon alias Kementerian Pertahanan AS.
Dia mendapat bayaran US$2.000 (sekitar Rp29 juta) untuk laporan tentang bagaimana penarikan pasukan AS dari Afghanistan berpotensi mempengaruhi China.
Untuk menemukan kontak targetnya itu, Yeo, yang selama beberapa waktu pada tahun 2019 tinggal di Washington DC, dibantu algoritma LinkedIn.
Setiap kali Yeo melihat profil seseorang, LinkedIn akan menyarankan kontak baru dengan pengalaman serupa yang mungkin menarik baginya. Yeo mengaku menerima saran `tanpa henti` dari LinkedIn.
Menurut dokumen pengadilan, atasan Yeo memintanya bertanya kepada para target soal ketidakpuasan dengan pekerjaan maupun persoalan keuangan yang mereka alami.
William Nguyen, alumnus kampus Lee Kuan Yew asal AS yang ditangkap pada sebuah demonstrasi di Vietnam tahun 2018 menyebut Yeo berusaha menghubunginya beberapa kali.
Kejadian itu, kata Nguyen dalam unggahan di akun Facebook miliknya, terjadi setelah ia dibebaskan dari penjara dan kasusnya menjadi berita utama di seluruh dunia.
Pada 2018, Yeo mengunggah lowongan pekerjaan palsu untuk firma konsultannya. Yeo berkata kepada penyelidik bahwa dia menerima lebih dari 400 lamaran. Sekitar 90 persen dari lamaran itu dikirim personel militer dan pegawai pemerintahan AS.
Yeo mengaku menyerahkan beberapa lamaran dan riwayat hidup itu kepada atasannya di China. LinkedIn digunakan untuk sesuatu yang memalukan kata Matthew Brazil, penulis buku berjudul Chinese Communist Espionage: An Intelligence Primer. Namun dia mengaku tak terkejut dengan tren tersebut.
"Saya pikir banyak agen intelijen yang mungkin menggunakannya untuk mencari sumber informasi," ujarnya.
"Semua pengguna LinkedIn ingin menaruh seluruh rekam jejak karier mereka di sana agar dilihat semua orang. Ini adalah alat yang sangat berharga dalam konteks itu," kata Brazil.
Brazil mengatakan, laporan konsultansi adalah cara agen intelijen untuk mendapatkan `kail` ke sumber yang berharga. Agen berharap dapat meyakinkan mereka untuk memberikan informasi rahasia.
"Benar-benar tradisi klasik dalam komunitas intelijen."
Asisten Jaksa Agung AS untuk urusan keamanan nasional, John Demers, menyebut kasus Yeo adalah contoh bagaimana China mengeksploitasi `keterbukaan informasi dalam masyarakat Amerik
Dia berkata, kasus ini juga cermin bagimana China menggunakan warga negara non-China untuk mendapatkan informasi dari orang Amerika yang tidak pernah keluar dari AS.
Singapura sejak lama berhubungan dekat dengan AS. Mereka mempersilakan AS menggunakan pangkalan udara dan pelabuhan milik angkatan laut mereka.
Namun Singapura juga mendambakan dan ingin mempertahankan hubungan positif dengan China.
Mantan pejabat Kemlu Singapura, Bilahari Kausikan, ragu yang kasus Yeo akan merusak hubungan negaranya dengan AS. Meski begitu, dia cemas warga Singapura bakal dicurigai secara berlebihan oleh masyarakat Amerika.
Minggu (26/07), Kementerian Dalam Negeri Singapura menyatakan tidak ada ancaman langsung terhadap keamanan negara akibat kasus Yeo ini.
Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Danny Quah, berkata tidak ada fakultas atau mahasiswa lain di kampusnya yang diketahui terlibat dengan kasus Yeo.
Pernyataan itu dikataka Quah melalui surat elektronik yang dikirimnya ke civitas kampusnya dan dikutip surat kabar Straits Times.
Seorang juru bicara di kampus itu berkata kepada BBC bahwa Yeo diberikan cuti dari program doktoral tahun 2019. Dia berkata, Yeo telah diberhentikan dari kampus.
Dickson Yeo tampaknya belum bertindak sejauh yang diharapkan `atasannya` di China.
Dalam kesaksiannya, Yeo berkata bahwa pada November 2019, ia melakukan perjalanan ke AS. Ia mendapat instruksi untuk menjadikan salah satu perwira militer AS sebagai `saluran informasi permanen`.
Namun Yeo ditangkap sebelum menyelesaikan instruksi tersebut.