Bisa Jadi Produk Bernilai Jual, Jangan Selalu Negatif sama Rokok
- dw
"Tidak ada yang namanya sampah, yang ada hanyalah material yang belum terpakai dan belum terevitalisasi”.
Kalimat inilah yang menjadi pegangan bagi Parongpong, sebuah perusahaan pengolahan limbah di Bandung, Jawa Barat dalam menciptakan produk-produk bernilai jual dari daur ulang sampah.
Baru-baru ini, perusahaan yang berdiri sejak 2017 itu muncul dengan sebuah inovasi pembuatan produk material yang diolah dari sampah puntung rokok.
Produk kolaborasi hasil kerja sama dengan Conture Concrete Lab tersebut diluncurkan setelah melalui riset pengolahan sampah puntung rokok selama satu tahun.
Sampah puntung rokok yang biasanya hanya dilihat sebagai sampah yang tidak bernilai, mereka olah menjadi berbagai macam produk bernilai jual, seperti asbak, pot bunga, tiling, dan furniture outdoor.
"Ketika kemarin kami launching, pemikirannya sederhana sekali sih, kami ingin kampanye from cigarette butt to human butt, lucu-lucuannya kayak gitu,” ujar Rendy Aditya Wachid kepada DW, Rabu, 22 Juli 2020.
Rendy adalah seorang lulusan jurusan arsitektur yang mendirikan Parongpong. Menurutnya, ada kritik yang sejatinya disisipkan lewat inovasi produk material berbahan puntung rokok yang mereka kerjakan.
"Kami bikin asbak dari puntung rokok dan itu sebetulnya jadi kritik, kenapa sih orang membuang puntung rokok sembarangan? Jadi kita bikin puntung rokok itu malah dimanfaatkan sebagai container untuk menyimpan puntung rokok yang adalah asbak,” jelasnya.
Puntung rokok, sampah paling banyak terbuang ke laut
Rendy mengakui bahwa kegelisahan melihat tingginya jumlah sampah puntung rokok yang mengotori laut jadi salah satu alasan perusahaannya memunculkan inovasi pengolahan sampah puntung rokok ini.
"Perhatian terhadap sampah plastik sangat tinggi, sedangkan yang menjadi sampah nomor satu di laut itu sebetulnya puntung rokok,” katanya.
Setidaknya, dua pertiga dari total 5,6 triliun batang rokok atau 4,5 triliun puntung rokok yang dihisap setiap tahun dibuang begitu saja.
Hal ini kemudian diperparah oleh fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara, bukan hanya sebagai produsen rokok tertinggi tapi juga negara dengan jumlah konsumen rokok tertinggi di dunia.
Itulah sebabnya, lanjut Rendy, Parongpong ingin memberi satu kesadaran bahwa mengolah dan memproses sampah. “Apapun itu sebenarnya jauh lebih mahal daripada mencegah dan ini kami buktikan ketika kita mengolah puntung rokok ini,” jelasnya.
Proses pembuatan menggunakan mesin hydrothermal
Rendy menjelaskan bahwa proses pembuatan produk material berbahan puntung rokok ini diawali dengan mengumpulkan sampah puntung rokok dari kafe-kafe yang ada di Bandung, Jawa Barat.
Nah, kafe-kafe ini, menurut Rendy, kerap mengeluhkan sulitnya memberikan kesadaran bagi pelanggan untuk berhenti membuang puntung rokok sembarangan.
Puntung rokok secara langsung dari konsumen ia tegaskan tidak akan diterima guna menghindari salah persepsi di antara perokok.
"Kita tidak ingin mendorong orang jadi punya solusi mudah terhadap masalah yang sebetulnya mudah-mudah susah ya. Artinya banyak sekali orang yang merokok bilang "aduh susah sekali berhenti”, tapi banyak juga bukti bahwa dengan alasan dan niat yang kuat ya akhirnya beneran bisa berhenti merokok,” tuturnya.
Puntung rokok yang dikumpulkan lalu dibawa ke mesin berbasis teknologi hydrothermal untuk diolah menjadi pulp atau bubur, yang ketika dikeringkan akan menjadi fiber dengan karakter homogen.
Fiber inilah yang kemudian dicarikan formula yang paling tepat oleh mitra mereka, Conture Concrete Lab, untuk dijadikan produk-produk material bernilai jual.
Selain fiber, pengolahan menggunakan mesin hydrothermal ini juga ternyata menghasilkan cairan dari sisa-sisa tembakau yang dapat dimanfaatkan untuk pestisida alami. "Ini yang belum kami blow up tapi sebetulnya sedang kami coba di kebun kami,” kata Rendy.
Desa mandiri lestari
Sejak berdiri tiga tahun lalu, Parongpong, menurut Rendy, memiliki mimpi besar, yaitu "menginisiasi zero waste community atau desa mandiri lestari pada 2022”.
Sesuai dengan namanya yang memiliki arti "kosong” dalam Bahasa Sunda, Parongpong ingin membuktikan bahwa ada tempat tinggal di Indonesia yang dapat mengolah sampahnya secara berkelanjutan.
Artinya, mampu mengolah sampah organiknya sendiri dan memiliki pemahaman tinggi tentang sampah daur ulang.
Selain telah meluncurkan berbagai inovasi pengolahan limbah seperti plastik dan sampah restoran, kini Parongpong lewat perusahaan seinduknya bernama Rawhaus, juga tengah berinovasi memproduksi rumah mikro dari material daur ulang, baik dari styrofoam, puntung rokok, atau bahkan sampah popok dan pembalut.
"Jadi kalau nanti dibayangkan endless possibilities kita bahkan bisa melihat nanti akan ada rumah yang green dan affordable menggunakan material daur ulang,” tutup Rendy. (gtp/as)