Kominfo: Frekuensi adalah Sumber Daya Alam Terbatas jadi Harus Ditata
- VIVA/Novina Putri Bestari
VIVA – Di era disrupsi dan pandemi Virus Corona COVID-19 seperti sekarang membuat perubahan menuju digital semakin tak terelakkan. Pemerintah dan DPR sedang membahas legislasi primer yang berhubungan dengan ruang digital.
Sebagai harapan, ke depannya, Indonesia bisa memasuki era society 5.0, era di mana teknologi digital dapat diaplikasikan dan berguna bagi kehidupan manusia serta kemajuan bangsa dan negara.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan, beberapa legislasi primer yang mendukung ruang digital tengah dibahas antara pemerintah dan DPR. Rancangan legislasi itu di antaranya adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi dan revisi UU Penyiaran.
"Kami berharap nantinya kebutuhan industri penyiaran dan ruang digital dapat terpenuhi. Memang sebagian materi yang ada di revisi UU Penyiaran juga dibahas di Omnibus Law RUU Cipta Kerja," ungkapnya, dalam sebuah diskusi online, belum lama ini.
Supaya dapat mengakomodasi ruang digital di masa mendatang, Kominfo juga memiliki kewajiban untuk melakukan penataan frekuensi, baik itu melalui farming maupun refarming.
Lalu, pada lower band, medium band, dan super high band. Dengan begitu, alokasi dan pemanfaatan frekuensi di Indonesia akan menjadi lebih efisien dan efektif, termasuk frekuensi televisi.
“Frekuensi adalah sumber daya alam terbatas maka harus dikelola dengan baik, termasuk frekuensi untuk penyiaran. Kalau kita tak menata frekuensi dengan baik maka potensi penerimaan negara akan berkurang dan pemanfaatan ruang digital juga tidak akan optimal. Apalagi kita juga tengah mempersiapkan teknologi 5G. Saat ini Indonesia sudah melakukan uji coba 5G untuk menyongsong Revolusi Industri 4.0,” jelas Johnny.
Hingga saat ini ada 2 frekuensi penyiaran yang bisa dioptimalkan untuk mendorong ruang digital dan berpotensi meningkatkan sumbangan sektor Kominfo guna mendongkrak pendapatan negara. Frekuensi tersebut adalah 700 MHz dan 2600 MHz.
Menurutnya, pemanfaatan frekuensi 700 MHz masih menunggu analog switch off. Sedangkan frekuensi 2600 MHz masih dimanfaatkan oleh penyiaran berbayar yang akan habis masa operasinya pada 2024, setelah diperpanjang 5 tahun oleh Kominfo yang seharusnya habis masa operasinya tahun lalu.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Dede Indra Permana Sudiro, mengatakan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tengah digodok saat ini oleh pemerintah bersama Komisi I DPR dengan melakukan pengalihan penyiaran dari analog ke digital.
Ia melanjutkan, penataan frekuensi dari analog switch ke digital harus diutamakan di dalam Revisi UU penyiaran maupun Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Hal Ini dikarenakan spektrum frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas yang mempunyai nilai strategis dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan dikuasai oleh negara.
Dede juga memberikan informasi bahwa saat ini revisi UU penyiaran belum ada final draft-nya. Draft revisi UU Penyiaran tersebut masih meminta masukan pemerintah dan publik. Termasuk didalamnya refarming yang akan memanfaatkan frekuensi yang ditinggalkan oleh penyelenggara tv analog ke digital seperti yang disampaikan Menkominfo.
“RUU masih dalam taraf penyempurnaan dari draft yang lama. Justru kita ingin penyempurnaan terhadap draft yang lama. Termasuk untuk mengakomodasi perkembangan teknologi penyiaran melalui layanan OTT (over the top). Oleh karena itu kita masih membutuhkan masukan dari seluruh stakeholder untuk penyempurnaan draft RUU tersebut,” tuturnya.