PTUN: Presiden Jokowi Melanggar Hukum soal Blokir Internet di Papua
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melakukan perbuatan melawan hukum atas pemutusan akses atau blokir internet di Papua dan Papua Barat periode Agustus hingga September 2019.
"Mengabulkan gugatan para tergugat untuk seluruhnya. Menyatakan perbuatan para tergugat adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan atau pemerintahan," kata Hakim Ketua PTUN Jakarta, Nelvy Christin saat membacakan putusan, Rabu hari ini, 3 Juni 2020.
Sejauh ini belum ada tanggapan pemerintah atas putusan PTUN ini, namun selama persidangan mereka menyatakan kebijakan itu sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Dalam amar putusannya, PTUN juga menyatakan pemerintah telah melanggar hukum telah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat. "Menghukum tergugat 1 dan tergugat 2 membayar biaya perkara sebesar Rp457 ribu," kata Nelvy.
Pelambatan dan pemutusan internet di beberapa wilayah di Papua terjadi tak lama setelah insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua, pertengahan Agustus 2019.
- Sidang pemutusan internet Papua: `Kita mengulang kesalahan negara yang tidak demokratis`, kata penggugat
- Blokir internet di Papua belum dicabut, `birokrasi lumpuh` dan `membuat informasi kacau`
- Blokir internet di Papua dan Papua Barat, ‘merugikan perekonomian daerah’ dan ‘memicu masalah’
Peristiwa itu diikuti beberapa kerusuhan, antara lain di Manokwari dan Sorong. Sepanjang periode itu, Kominfo mengklaim memblokir 713.166 tautan internet yang berisi berita bohong soal insiden rasisme di Surabaya, Jawa Timur.
Bagaimana gugatan ini berawal?
Pada 22 Januari 2020, PTUN mulai menggelar sidang perdana gugatan pelambatan dan pemutusan jaringan internet Papua oleh pemerintah pada Agustus-September 2019.
Dalam sidang perdana, penggugat yang merupakan koalisi masyarakat sipil meminta hakim menyatakan keputusan pemerintah itu sebagai perbuatan melawan hukum.
Di sisi lain, meski tak menghadiri sidang, pemerintah saat itu menyatakan bahwa kebijakan itu sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Para pegiat menyatakan pelambatan dan pemutusan internet di Papua dituding melanggar beberapa ketentuan hukum, di antaranya UU 40/1999 tentang Pers dan UU 12/2005 yang mengatur kebebasan mencari, menerima, serta memberi informasi.
Ade Wahyudin, kuasa hukum penggugat, menuduh kebijakan itu mengganggu kerja jurnalistik pewarta dan media massa di Papua saat itu.
Ade mengatakan klaim Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) untuk mencegah penyebaran berita bohong (hoaks), seiring kerusuhan yang Agustus lalu terjadi di beberapa kota di Papua, justru menyebabkan kesimpangsiuran informasi.
"Media yang ingin melakukan verifikasi justru tidak bisa bekerja. Artinya informasi yang di luar Papua tetap beredar, sedangkan jurnalis di Papua tidak bisa mengklarifikasi yang beredar di Jakarta," kata Ade via telepon usai sidang.
Ade menilai hakim perlu menyatakan keputusan pemerintah itu `melawan hukum` agar tak kembali diterapkan di masa mendatang.
Ia khawatir, tanpa putusan itu pemerintah akan memiliki preseden membatasi akses internet warga negara.
"Dalam beberapa pernyataan Kominfo akan meneruskan blokir dan shut down ini. Kalau tidak pernyataan melanggar hukum, kalau ada konflik, pemutusan internet akan sering dilakukan," ujar Ade.
"Kami ingin membuktikan tindakan itu tidak berdasarkan undang-undang sehingga pemerintah tidak bisa sewenang-wenang memutus internet," kata dia.
Apa alasan pemerintah pusat di balik kebijakan pembatasan internet?
Namun seperti pernyataan resmi sebelumnya, Kominfo kembali menyatakan tidak ada yang keliru dengan pembatasan dan pemutusan internet selama beberapa waktu di Papua.
Juru Bicara Kominfo, Ferdinandus Setu, menyebut itulah yang akan dinyatakan pihaknya kepada hakim dalam sidang berikutnya.
"Itu dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat karena ada kerusuhan di beberapa tempat dan penyebaran hoax yang cukup masif. Itu sesuai amanat UU informasi dan transaksi elektronik," ucapnya saat dihubungi.
"Kalau terjadi lagi situasi seperti di Papua, mau tidak mau itu akan dilakukan lagi," kata Ferdinandus.
Pelambatan dan pemutusan internet di beberapa wilayah di Papua terjadi tak lama setelah insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua, pertengahan Agustus 2019.
Peristiwa itu diikuti beberapa kerusuhan, antara lain di Manokwari dan Sorong.
Sepanjang periode itu, Kominfo mengklaim memblokir 713.166 tautan internet yang berisi berita bohong soal insiden rasisme di Surabaya.
Meski begitu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri, antara lain, dari Aliansi Jurnalis Independen, KontraS, YLBHI, dan Elsam, menyebut kebijakan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.
"Negara yang mempraktikan pemutusan internet tingkat demokrasinya lebih parah dari Indonesia," kata Ade Wahyudi.
"Apakah kita ingin berkiblat ke sana? Klaim pemutusan internet memutus hoaks tidak bisa semudah itu dilakukan," ujar Ade.
Selain di Indonesia, pemutusan internet selama 2019 juga diterapkan pemerintah China di Provinsi Xinjiang dan pemerintah India di Kashmir.
Beberapa negara Afrika juga pernah melakukan hal serupa, antara lain Zimbabwe, Republik Demokratik Kongo, Chad, dan Ethiopia.