Penyebab Sebagian Orang Tidak Suka Cuci Tangan, Padahal Lagi Corona
- Freepik/freepik
"Resolusi 2019 saya ialah mengatakan saat on-air hal-hal yang saya katakan saat off-air..." - kata-kata terakhir Pete Hegseth tahun lalu, sebelum ia mengungkapkan rahasia yang menghebohkan dunia maya.
Waktu itu, Hegseth dikenal sebagai presenter siaran berita AS Fox News yang memiliki sedikit pandangan kontroversial. Kemudian ia mengatakan: "Saya rasa saya tidak pernah mencuci tangan saya selama 10 tahun."
Pengakuan itu membuat banyak orang terheran-heran, dan mendorong kemunculan artikel-artikel yang membahas apa yang mungkin ada di tangan Anda setelah satu dekade.
Yang mengkhawatirkan, Hegseth ternyata tidak sendirian; pada 2015, aktris Jennifer Lawrence mengejutkan para penggemarnya dengan mengatakan ia hampir tak pernah mencuci tangan setelah dari kamar mandi.
Hegseth dan Lawrence belakangan mengatakan mereka hanya bercanda, tapi ada orang-orang lain yang secara terbuka menentang anjuran untuk mencuci tangan.
- Di beberapa negara, cuci tangan saja tak cukup untuk tekan penyebaran virus corona
- Cuci tangan: Dokter yang dikucilkan dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena mengkampanyekan kebersihan tangan
- Kisah dokter abad ke-19 yang dianggap gila karena kampanyekan pentingnya cuci tangan
Masih pada 2015, Senator Thom Tillis, senator Partai Republik dari Carolina Utara, berpendapat bahwa mewajibkan pegawai restoran untuk mencuci tangan merupakan contoh regulasi berlebihan.
Meskipun 10 tahun barangkali bisa jadi semacam rekor, pengguna kamar mandi yang jeli di manapun akan menyadari bahwa banyak orang tidak biasa mencuci tangan.
Satu studi memperkirakan bahwa pada 2015, hanya 26,2% kunjungan ke kamar mandi dengan kemungkinan "kontak tinja" diikuti dengan cuci tangan pakai sabun.
Kebiasaan sederhana yang kerap diabaikan
"Ini kebiasaan yang terdengar sederhana," kata Robert Aunger, pakar kesehatan masyarakat di London School of Hygiene and Tropical Medicine.
"Tapi, Anda tahu, kami telah berusaha [membuat orang-orang lebih sering mencuci tangan] selama 25 tahun dan orang yang melakukannya masih sangat sedikit."
Tentu saja, ini bisa sebagian dijelaskan oleh kurangnya fasilitas yang memadai dan sabun di wilayah-wilayah miskin di dunia.
Di negara-negara berkembang, hanya 27 persen dari populasi yang punya akses pada fasilitas ini (Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF memperkirakan bahwa sekitar tiga miliar orang tidak memilikinya di rumah).
Tapi bahkan di banyak negara berpenghasilan tinggi, tempat kedua hal itu melimpah, hanya 50% orang yang menggunakannya setelah pergi ke kamar kecil.
Temuan yang menyelamatkan nyawa
Statistik ini mengherankan bila Anda mempertimbangkan bahwa mencuci tangan dianggap sebagai salah satu temuan yang menyelamatkan paling banyak nyawa dalam sejarah umat manusia, berkontribusi pada lonjakan besar dalam harapan hidup global sejak dipopulerkan sekitar tahun 1850.
Kalau kita butuh lebih banyak insentif, kebiasaan bersih-bersih ini juga bisa mencegah kuman kebal antibiotik atau superbug dan pandemi.
Sebuah kajian ilmiah pada tahun 2006 mendapati bahwa mencuci tangan secara rutin bisa memangkas risiko infeksi saluran pernapasan sebesar antara 6 hingga 44 persen.
Sejak kemunculan pandemi COVID-19, para ilmuwan menemukan bahwa budaya mencuci tangan di suatu negara adalah predikto yang "sangat baik" akan tingkat penyebaran penyakit.
Mengapa sebagian dari kita begitu semangat mencuci tangan hingga rela membayar ratusan ribu rupiah untuk cairan penyanitasi tangan di saat kelangkaan, sementara yang lain begitu keras kepala sampai menyentuh sabun saja tidak mau?
Dan jika virus baru yang misterius dan cerita horor tentang tinja di remot televisi hotel tidak bisa membujuk orang-orang untuk mengubah kebiasaan mereka, apa yang bisa?
Ternyata kegagalan singgah di wastafel dalam perjalanan keluar dari kamar kecil tidak hanya disebabkan rasa malas.
Ada sejumlah faktor psikologis yang secara halus membuat orang-orang enggan mencuci tangan, mulai dari cara berpikir seseorang hingga tingkat optimisme delusi, kebutuhan untuk merasa "normal", dan seberapa kuat perasaan jijik mereka.
“Satu masalah dengan mencuci tangan ialah, terutama di negara maju, Anda bisa lalai mencuci tangan berkali-kali dan tidak menjadi sakit," kata Aunger.
Hati-hati dengan optimisme
Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah optimisme. "Bias optimisme" adalah keyakinan bahwa hal-hal buruk lebih kecil kemungkinannya terjadi pada diri kita daripada orang lain.
Pandangan positif yang irasional ini bersifat universal - ditemukan di beragam kebudayaan manusia dan lintas demografi seperti gender dan usia.
Ia membuat kita keliru dalam menghitung peluang kita dalam berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan, mulai dari terkena kanker sampai bercerai.
Jenis delusi ini mungkin punya andil dalam kebiasaan buruk seperti merokok, atau mengapa banyak orang memilih kartu kredit yang akhirnya membuat mereka rugi.
Ia juga bisa membuat sebagian orang tidak mencuci tangan mereka. Bias optimisme bahkan ditemukan di kalangan calon perawat, yang cenderung menaksir tinggi pengetahuan mereka tentang praktik kebersihan tangan yang baik; dan orang-orang yang menangani makanan dalam pekerjaan mereka, yang selalu menganggap remeh risiko menyebabkan keracunan makanan bagi orang lain.
Pentingnya norma sosial
Petunjuk besar akan pentingnya psikologi dalam mencuci tangan bisa dilihat dalam beragam praktik kebersihan dalam berbagai kebudayaan di seluruh dunia.
Dalam satu penelitian di Prancis, 64.002 orang dari 63 negara ditanyai apakah mereka setuju dengan pernyataan "mencuci tangan pakai sabun setelah menggunakan toilet adalah hal yang Anda lakukan secara otomatis".
Kurang dari setengah responden dari China, Jepang, Korea Selatan, dan Belanda setuju. Sementara itu, negara dengan tingkat cuci tangan paling tinggi adalah Arab Saudi, dengan 97% responden dari sana mengatakan mereka terbiasa mencuci tangan mereka pakai sabun.
Bahkan di dalam satu negara, tidak semua dari kita bersalah dalam kejahatan terhadap kebersihan. Contohnya, berbagai studi secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih rajin mencuci tangan daripada laki-laki; dalam salah satu penelitiannya, Aunger menemukan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin untuk mencuci tangan di toilet-toilet jalan raya di Inggris.
Tren ini bahkan berlanjut hingga pandemi COVID-19, dengan satu jajak pendapat baru-baru ini menemukan bahwa 65 persen perempuan dan 52 persen laki-laki mengatakan mereka mencuci tangan secara rutin.
Aunger menjelaskan bahwa variasi dalam kebiasaan mencuci tangan mungkin disebabkan oleh norma sosial.
Jika kita melihat orang lain mencuci tangan mereka di kamar kecil, kita akan melakukannya - tapi, ketika tidak ada yang melakukannya, tidak ada tekanan bagi kita untuk melakukannya.
"Dan faktanya, orang bisa dipandang tidak biasa atau `sombong` jika mereka melakukannya," kata Aunger.
Karena laki-laki dan perempuan cenderung pergi ke kamar kecil yang terpisah di tempat publik, mungkin ada norma sosial yang berbeda untuk setiap gender - begitu pula untuk kelompok lain, misalnya agama.
Pemikiran rasional vs pengalaman
Satu alasan para ilmuwan begitu tertarik untuk mengungkap psikologi di balik mencuci tangan ialah banyak nyawa bergantung padanya - terutama pasien-pasien di rumah sakit.
Meskipun sudah bertahun-tahun berlatih untuk menjaga orang-orang tetap hidup, banyak tenaga kesehatan mengabaikan kebiasaan dasar satu ini yang bisa membantu mencegah virus yang berpotensi mematikan dan superbug seperti bakteri Clostridium difficile.
Pada 2007, para ilmuwan menemukan bahwa dokter bedah di sebuah rumah sakit di Australia hanya mencuci tangan 10 persen dari waktu sebelum kontak dengan pasien (vs 30 persen setelahnya).
Penelitian yang lebih baru di rumah sakit lain mengungkap temuan yang sama mengejutkannya. Contohnya, penelitian pada 2019 di sebuah rumah sakit di Quebec mendapati bahwa tenaga kesehatan hanya mencuci tangan mereka 33 persen dari waktu mereka bekerja.
Bahkan di Arab Saudi, dengan budaya cuci tangannya yang saksama, tenaga medis seringkali tidak menerapkan kebersihan tangannya dengan baik.
Tapi seperti halnya masyarakat umum, tidak semua tenaga medis [are equally guilty]. Studi pada 2008 menemukan bahwa dokter yang melaporkan bahwa dirinya membuat keputusan secara intuitif jauh lebih sering mencuci tangan dibandingkan mereka yang mengaku berpikir secara lebih rasional.
Ini mengisyaratkan bahwa memberi serangkaian argumen untuk mencuci tangan mungkin bukan cara terbaik untuk meyakinkan orang-orang untuk melakukannya.
Studi yang dilakukan pada bulan Maret tahun ini mengidentifikasi sifat lain yang mungkin berperan: ketelatenan.
Penelitian tersebut, yang dilakukan di Brasil, mendapati bahwa orang-orang yang mendapat skor lebih tinggi untuk ketelatenan lebih cenderung menjaga jarak sosial dan mencuci tangan.
Rasa jijik
Terakhir, rasa jijik. Reaksi mula saat melihat sepotong stik yang penuh belatung mencegah Anda dari keinginan untuk memakannya. Demikian pula, menjauhi penumpang yang memegang tisu kotor di gerbong kereta api akan membantu kita untuk terhindar dari patogen mereka.
"Efeknya yang `membuat kita menjauh` merupakan hal paling berguna," kata Dick Stevenson, psikolog dari Macquarie University, Australia.
Bahkan simpanse, yang kerap terlihat memakan kotoran mereka sendiri di kebun binatang, merasa jijik oleh cairan tubuh individu lain, yang menunjukkan bahwa rasa jijik bukan sekadar produk budaya manusia, tetapi sesuatu yang berevolusi untuk melindungi kita.
Dan seperti setiap emosi lainnya, seberapa besar rasa jijik yang dirasakan bervariasi dari orang ke orang.
Rasa jijik adalah kekuatan tersembunyi dalam hidup kita, mendorong keputusan politik kita - orang yang lebih sensitif terhadap rasa jijik lebih cenderung memilih partai konservatif - serta apakah kita menerima orang gay, seberapa xenofobik kita, dan mungkin bahkan seberapa takut kita pada laba-laba.
Seperti yang Anda duga, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa orang yang tidak mudah jijik lebih jarang mencuci tangan, dan ketika mereka melakukannya, mereka tidak berlama-lama di bawah keran.
Satu studi tentang mencuci tangan di Haiti dan Ethiopia mendapati bahwa pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang urusan kesehatan tidak begitu relevan dengan kecenderungan mereka mencuci tangan dibandingkan kekuatan rasa jijik mereka.
Menjaga kebersihan
Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi bias ini?
Dalam beberapa pekan terakhir, badan-badan kesehatan masyarakat, badan amal, politisi, dan anggota masyarakat bersama-sama meluncurkan kampanye cuci tangan yang mungkin paling antusias dalam sejarah.
Para selebritas turun tangan untuk menunjukkan teknik yang tepat, dan banyak meme tentang cuci tangan membanjiri internet.
Akan tetapi, mengingat apa yang kita ketahui tentang bias psikologis, akankah upaya-upaya yang baik dan kadang-kadang cerdik ini benar-benar membuat orang yang tidak suka mencuci tangan menjadi sadar?
Alih-alih membuat mencuci tangan terkesan lucu atau seksi, salah satu penelitian berusaha memanfaatkan rasa jijik.
Pada 2009, bersama dengan rekan-rekan dari Universitas Macquarie, Stevenson menguji ide ini pada beberapa mahasiswa.
Setelah ditanyai tentang kebiasaan mencuci tangan dan sensitivitas mereka terhadap rasa jijik, para mahasiswa diminta untuk menonton salah satu dari tiga video: video yang murni mengedukasi, video berisi visual yang menjijikkan dan kontrol, klip dari sebuah film dokumenter alam yang tidak relevan.
Sekitar sepekan kemudian, para mahasiswa diminta kembali, dan diminta duduk di depan sebuah meja yang di dekatnya disimpan tisu antibakteri dan jel pembersih tangan.
Mereka dihadapkan dengan serangkaian benda yang sangat tidak higienis, mulai dari alat tepuk lalat hingga sikat toilet bekas.
Setelah memegang setiap benda, mereka diminta memakan biskuit dari sebuah piring. Apakah para relawan mencuci tangan mereka sebelum menyentuh makanan?
Seperti yang mereka harapkan, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang menonton video jijik lebih cenderung membersihkan tangan mereka daripada orang-orang dari kelompok lain, bahkan, mereka lebih banyak mencuci tangan daripada kedua kelompok lainnya.
Belum ada yang tahu sampai berapa lama kebiasaan cuci tangan ini akan bertahan, namun penelitian ini menunjukkan bahwa sekadar menyuruh orang untuk melakukannya tidak seefektif membuat mereka merasa jijik.
Kebiasaan baik
"Ini pertanyaan penting karena pada awalnya Anda harus terus memotivasi orang tersebut untuk mencuci tangan dalam situasi tertentu, seperti melalui iklan dan papan pemberitahuan," kata Stevenson.
"Tapi jika ini terus dipertahankan maka perilakunya menjadi kebiasaan. Yang tidak kita ketahui adalah berapa lama sampai hal ini terjadi."
Aunger setuju bahwa membangun kebiasaan adalah kuncinya.
"Kita memiliki konteks yang sangat istimewa sekarang, ketika banyak orang tertarik untuk mencuci tangan karena virus corona," katanya. "Tapi pertanyaannya adalah, bisakah kita naik ke tingkat yang sangat tinggi dan tetap di sana?"
Apa pun efek jangka panjang Virus Corona COVID-19, setidaknya untuk sementara kita tidak akan mendengar lagi para selebritas yang membual tentang betapa mereka tidak suka mencuci tangan.