Salah Jalan Bakti Kominfo

Pengamat telekomunikasi Nonot Harsono.
Sumber :
  • VIVA/Misrohatun Hasanah

VIVA – Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Bakti Kominfo) dinilai melenceng dari tujuan awal. Akar permasalahannya ada di dana Universal Service Obligation (USO) sektor telekomunikasi yang dikelola oleh mereka.

Pengamat telekomunikasi Nonot Harsono menjelaskan apa yang dimaksud telah melenceng dari prinsip dasar USO. Ia mencontohkan, untuk penggelaran jaringan Palapa Ring, ada satu pihak yang dijamin untung. Sementara penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi lain belum tentu bisa membangun atau menyediakan jasa layanan di wilayah USO.

"Bahkan, dalam situasi yang belum tentu untung atau cenderung akan merugi, masih terus diwajibkan memberikan iuran kontribusi USO untuk membiayai model Public Private Partnership (PPP)," katanya di Jakarta, Kamis, 12 Maret 2020.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), iuran dana USO yang dibayarkan perusahaan operator telekomunikasi sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor (gross revenue).

“Untuk Palapa Ring maupun satelit, desainnya harus dilengkapi end-to-end. Tidak boleh seperti operator yang menggelar jaringan. Padahal itu baru backbone saja. Harus dari ujung ke ujung didesain, kemudian dijadwal kapan selesainya, lalu bagi tugas. Jangan cuma backbone terus para operator disuruh rebutan. Justru akan saling tunggu," jelasnya.

Menurut Nonot, Bakti Kominfo harus kembali pada tugas utamanya, yakni mengharmonisasi peran dari para operator telekomunikasi. Perlu ditegaskan bahwa peran mereka adalah sebagai pelaksana USO, mengkoordinasi pelaksanaan program USO oleh para penyelenggara telekomunikasi, dan jangan berperilaku seperti operator.

Skema Public Private Partnership (PPP) atau Kerja sama Pemerintah Badan usaha (KPBU) di wilayah USO menurutnya juga perlu ditinjau kembali, karena yang menanggung profit investor adalah penyelenggara telekomunikasi dengan iuran USO dan kemungkinan akan membebani APBN.

"Menkominfo (Johnny G Plate) hanya perlu memperbaiki tata kelola pelaksanaan USO, karena pembiayaan dengan skema ini lebih baik daripada skema PPP atau KPBU," ungkap Nonot.

Sebelumnya, Bakti Kominfo juga dikritik lantaran menyiapkan Program Satelit Republik Indonesia (Satria), yang memiliki harga fantastis, yakni Rp21,4 triliun. Angka sebesar itu dinilai tidak efisien karena belum termasuk ground segment dan backhaul.

Pemerintah diminta agar mengevaluasi Program Satelit Satria. Apalagi satelit ini rencananya akan berada di orbit pada 2022.

"Bakti sebenarnya tidak mengetahui esensi USO sebenarnya. Saat ini penetapan daerah USO dilakukan tanpa kajian kebijakan publik," ungkap pendiri Institute for Policy and Administrative Reform, Riant Nugroho.

Ia melanjutkan bahwa penetapan daerah USO yang selama ini dilakukan hanya perkiraan saja. Riant menduga Bakti Kominfo tidak memiliki perhitungan yang cukup jadi tidak dapat dipertanggung jawabkan ke publik.