Gurihnya Bisnis Internet Satelit di Indonesia
- MIT Technology Review
VIVA – Pembangunan jaringan backbone kabel serat optik (fiber optik), atau dikenal internet kabel, yang dilakukan pemerintah bersama operator telekomunikasi dinilai tidak membuat bisnis satelit, biasa disebut internet satelit, di Tanah Air menjadi sepi peminat. Hal ini karena kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Fiber optik beroperasi menggunakan modem dan kabel yang disediakan oleh provider/operator telekomunikasi. Internet jenis ini menggunakan infrastruktur jaringan kabel yang disediakan oleh Internet Service Provider (ISP) seperti First Media, Biznet ataupun CBN.
Sedangkan, internet satelit perlu mengirimkan sinyal ke satelit yang mengorbit di atas bumi yang kemudian ditransimisikan ke antena VSAT yang telah dipasang di rumah.
Tidak surutnya minat akan bisnis satelit seiring makin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan layanan data, namun tidak mengalami terganggu oleh jaringan.
Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia Hendra Gunawan memperkirakan ada peningkatan kebutuhan satelit mencapai sekitar lima persen di tahun ini.
Apalagi pembangunan jaringan Palapa Ring baru mencapai kota-kota besar, sehingga masih banyak jaringan backbone Palapa Ring belum memiliki jaringan infrastruktur akses (lastmile) untuk menghubungkan kota-kota kecil maupun wilayah terpencil.
"Tentu ini jadi peluang tersendiri bagi operator satelit nasional. Meski kebutuhan akan satelit masih tinggi, namun suplai transponder masih bisa dipenuhi oleh operator nasional dan asing yang telah memiliki lisensi (landing right)," jelas dia di Jakarta, Senin, 27 Januari 2020.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut saat ini terdapat 50 satelit yang telah melayani masyarakat di Indonesia. Kapasitas satelit yang dimiliki oleh operator Indonesia hingga kini mencapai 241 Transponder Equivalent (TPE) dan 12 Gbps High Throughput Satellites (HTS).
Hendra melanjutkan bahwa saat ini teknologi satelit yang paling efektif adalah dengan HTS, karena ongkos operasional yang efektif tapi kapasitasnya lebih besar ketimbang satelit konvensional.
“Mayoritas operator satelit di dunia sudah menggunakan teknologi HTS. Saya juga punya data terbaru kalau hampir seluruh operator satelit di Indonesia sudah menggunakan teknologi HTS, baik dengan kapasitas sendiri maupun sewa ke operator asing," tuturnya.
Hendra mengungkapkan jika kehadiran teknologi satelit orbit rendah atau (low earth orbit/LEO) dan satelit orbit menengah (medium earth orbit/MEO) bukanlah ancaman bagi industri satelit nasional yang masih menggunakan teknologi satelit geostasioner (geosynchronous satellite).
Ia menilai justru kehadiran MEO dan LEO mampu untuk melengkapi teknologi yang belum dimiliki oleh satelit geostasioner. Aplikasi yang tidak membutuhkan latensi rendah masih bisa menggunakan satelit geostasioner.
Dengan kehadiran LEO dan MEO pula Hendra memperkirakan kapasitas satelit dunia untuk beberapa tahun mendatang akan mengalami kelebihan suplai. Kondisi ini akan mempengaruhi industri satelit di Indonesia.
Sebab, periode 2021 hingga 2023, akan banyak satelit dengan teknologi HTS yang akan mengkover wilayah Indonesia.
Berdasarkan informasi dari public domain, satelit dari operator nasional dan global yang direncanakan beroperasi tahun ini antara lain OneWeb, Nusantara Dua, O3b mPower, Starlink, Telesat LEO, Viasat-3, dan Jupiter-3.
“Karena banyak operator satelit yang akan mengkover wilayah Indonesia, maka suplai melimpah dan harga akan turun. Jadi operator satelit Indonesia harus berkolaborasi dengan asing. Itu dimungkinkan dalam regulasi selama operator asing tersebut memiliki lisensi,” jelas Hendra.