Jokowi Ingin TNI Kuasai Teknologi Pertahanan
- dw
Presiden Joko Widodo memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan, TNI dan Polri Tahun 2020. Acara tersebut dihelat di Lapangan Bhinneka Tunggal Ika, Kementerian Pertahanan, Kamis, 23 Januari kemarin di Jakarta.
Dalam arahannya, Jokowi menyoroti bahwa cepatnya perkembangan teknologi di masa sekarang menjadi sebuah tantangan besar bagi TNI, sehingga perlu untuk diantisipasi.
“Hati-hati mengenai ini. Fregat itu perlu, fighter itu perlu, tapi lihat antisipasi lompatan teknologi militer dalam jangka 20, 30, 50 tahun ke depan. Karena perubahan teknologi sekarang ini begitu sangat cepatnya,” tuturnya.
Joko Widodo lalu mencontohkan teknologi pesawat nirawak atau drone yang kini bisa dipersenjatai bahkan mampu mengejar tank maupun kendaran militer lain, sehingga mampu menghabisi lawan dari jarak dekat maupun jauh dengan tepat sasaran.
Selain itu, Jokowi menyebut bahwa perkembangan teknologi pertahanan juga sudah menggabungkan instrumen persenjataan dengan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Untuk itu, Joko Widodo menyampaikan agar Indonesia terus memperkuat penguasaan teknologi pertahanan.
Pertama, teknologi otomatisasi akan disertai dengan pengembangan sistem senjata otonom. Kedua, teknologi sensor yang akan mengarah kepada pengembangan sistem penginderaan jarak jauh.
Ketiga, teknologi informasi (IT) seperti 5G dan komputer kuantum yang akan mengarah ke pengembangan sistem senjata yang otonom serta pertahanan siber.
"Di tengah tantangan itu, saya ingin agar TNI berani memulai untuk membangun berbagai instrumen militer berteknologi canggih," ujar Jokowi, melalui akun Instagramnya.
Baca juga: AS, Cina dan Arab Saudi: Negara dengan Anggaran Belanja Militer Paling Besar
Belanja pertahanan jadi investasi pertahanan
Dalam arahannya, Presiden Joko Widodo juga mengatakan bahwa belanja pertahanan harus diubah menjadi investasi pertahanan. Caranya salah satunya adalah menghidupkan industri strategis Indonesia.
“Kemandirian kita dalam membangun ini harus serius kita mulai”, ujar Jokowi. Ia mengingatkan bahwa menurut UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mengharuskan adanya transfer teknologi, kerja sama produksi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), serta pengembangan rantai produksi antara BUMN dengan korporasi swasta dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Untuk itu, pemanfaatan APBN ia minta harus benar-benar efisien, baik dari perencanaan maupun dalam pelaksanaan anggaran. Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi APBN terbesar sejak 2016 sampai sekarang. Tahun ini, Kemenhan mendapatkan anggaran sebesar Rp127 triliun.
“Tapi saya yakin Pak Menhan ini kalau urusan anggaran ini detail, berkali-kali dengan saya, hampir hafal di luar kepala. Saya juga merasa aman untuk urusan Rp127 triliun ini. Harus efisien, bersih, tidak boleh ada mark-up lagi, dan yang paling penting mendukung industri dalam negeri kita,” ujar Jokowi.
Baca juga:Prabowo: Kekuatan Pertahanan Indonesia Rapuh
Implementasinya masih jauh
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai arahan Presiden Jokowi terkait pengembangan instrumen militer berteknologi canggih dan investasi pertahanan dalam rapim di Kementerian Pertahanan, baru berupa cita-cita semata. Menurutnya, hal ini masih tidak mungkin untuk direalisasikan dengan jumlah anggaran Kementerian Pertahanan yang sekarang, yaitu 127 Triliun rupiah.
"Kekuatan minimumnya saja belum dipenuhi gimana mau lebih canggih?", ujar Fahmi kepada DW Indonesia, Kamis (23/01).
Fahmi menyoroti bahwa anggaran Kementerian Pertahanan senilai 127 T lebih banyak dihabiskan hanya untuk belanja rutin saja seperti gaji dan kebutuhan perkantoran, bukan untuk pengembangan alutsista.
"Kita sadar bahwa ancaman ke depan itu sangat berkaitan dengan perkembangan teknologi tapi problem-nya kan lagi-lagi klasik ya soal anggaran ini. Itu lebih banyak akan dihabiskan untuk gaji, kertas dan makan minum ketimbang untuk pengembangannya sendiri, jangankan kita bicara belanja teknologinya kita bicara riset saja berapa besar sih belanja riset pertahanan kita, sangat kecil saya kira," jelas Fahmi.
Berkaitan dengan Ãnvestasi pertahanan, Fahmi menilai bahwa implementasi UU Nomor 16 tahun 2012 masih jauh dari yang dicita-citakan.
Ia menjelaskan bahwa di dalam UU ini disebutkan adanya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sebagai wadah bertemunya para stakeholder dan industri untuk merumuskan kebutuhan sektor pertahanan dalam negeri, termasuk belanja dari luar negeri dengan skema transfer teknologi yang jelas.
Menurutnya, Indonesia selama ini masih lemah dalam negosiasi transfer teknologi sehingga memberikan kesan industri pertahanan dalam negeri "jalan di tempat". "Kita sudah ekspor ini itu ya itu oke tapi kalau kita ukur dengan target-target indikator-indikator yang terkait dengan pembangunan sektor pertahanan kita, itu masih jauh dari apa yang dicita-citakan," ujar Fahmi.
"Artinya ini hal-hal yang masih mimpi, masih di awang-awang sementara implementasinya masih jauh. Kalau kita terlalu banyak bermimpi, kasian juga sama Pak Prabowo ini menteri ini kesannya harapannya itu ditumpukan sepenuhnya ke beliau padahal sebenarnya anggaran kita sama sekali jauh dari kategori mampu mencukupi itu semua yang disampaikan pak presiden ," tambah Fahmi.
Target realistis
Lebih jauh Fahmi mengatakan bahwa sebelum berbicara mengenai alutsista baru, prioritas pertahanan seharusnya berbicara soal pembagian alokasi anggaran secara proporsional, seperti kebutuhan antar matra dan poros maritim. Kemudian dilanjutkan dengan upaya pengembangan organisasi dan satuan untuk menjawab ancaman kedaulatan dan keamanan laut yang terjadi baru-baru ini.
"Kemudian bagaimana pemeliharaan dan peningkatan kemampuan satuan termasuk juga personilnya, baru kita bicara kemudian alutsista baru termasuk pemeliharaan dan perawatannya," ujar Fahmi.
gtp/vlz (dari berbagai sumber)